Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Imlek, Menyisir Kawasan Pecinan sambil Belajar Sejarah

23 Januari 2023   17:36 Diperbarui: 24 Januari 2023   15:42 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar Bong, jujuganmembeli oleh-oleh haji dan umrah murah. foto: dedi angga

Nama makam itu, bagi saya, juga unik. Ada percampuran Arab dan Tionghoa. Menurut penjelasan Noto (60) juru kunci makam, Syech Sin Abdurrahman adalah orang Tionghoa yang beragama Islam.

Dulu, kata Noto, bentuk bangunan yang melindungi makam terbuat dari kayu dan sesek (ayaman dari bambu). Tidak seperti sekarang yang konstruksinya dari batu bata. 

"Kenapa dinamakan Buyut Tonggo, konon menurut cerita masyarakat Syech Sin Abdurrahman ini orangnya suka nonggo (datang ke tetangga)," ujar dia, lalu tersenyum.

Di dalam area Pasar Bong sendiri juga masih terdapat bangunan dan rumah-rumah tua dari era kolonial. Jika mencermati langgam bangunan, arsitekturnya berasal dari era akhir abad 19 dan awal abad 20.

Di Kawasan Kembang Jepun, salah satu pusat perdagangan di Surabaya. foto: zaki yamani
Di Kawasan Kembang Jepun, salah satu pusat perdagangan di Surabaya. foto: zaki yamani

***

Perjalanan berikutnya ke Jalan Kembang Jepun. Kawasan yang dikenal sebagai pusat perdagangan dari zaman ke zaman. Kawasan perdagangan ini "jam hidupnya" pukul 08.00 sampai 17.00. Setelah itu sepi nan sunyi.

Pemerintah Kota Surabaya mencoba menghidupkan kawasan Kembang Jepun ini dengan Kya-Kya, semacam sentra kuliner. Sayang setelah dilaunching September 2022 lalu, Kya-Kya sulit berkembang. Bahkan beberapa pedagang sudah ada yang tutup.   

Di Kembang Jepun, para peserta Subtrack berkesempatan melihat seisi gedung kolonial yang dulu pernah dipakai Uniebank. Dibangun tahun 1880-an. Gedung itu kini ditempati Radar Surabaya, koran grup Jawa Pos.

Gedung eks Uniebank tersebut masih terlihat kokoh dan eksotik. Desain bangunannya bergaya art deco. Dulu, tempat ini menjadi kantor redaksi Jawa Pos. Masa itu, Dahlan Iskan yang menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos, sering tidur-tiduran di meja besar di lantai bawah.

Dahlan terbilang cuek, meski di tempat itu jadi lalu lintas tamu. Kelakuan Dahlan tidur-tiduran itu masih terbawa ketika Jawa Pos pindah ke Graha Pena, gedung baru yang dibangun di Jalan Ahmad Yani, Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun