Jika sekarang ada UAS dan Vj Daniel, tentu memberi nafas segar. Betapa penting dan berharga publik melihat potret keakraban mereka. Yang menyuguhkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan antarsesama manusia.
***
Saya bukan orang yang gumunan. Yang seketika bisa kaget melihat suatu peristiwa atau kejadian. Yang bisa merespons cepat tanpa pernah menimbang-nimbang risiko dan dampaknya.
Saya juga bukan orang yang gampang menarik kesimpulan. Karena saya diajari untuk tidak mudah percaya kabar berita tanpa melihat bukti-bukti konkret dan faktual.
Pun saya juga tak pernah membatasi pergaulan. Itu sebabnya saya berteman dengan banyak orang dari berbagai latar belakang pendidikan, preferensi, agama, dan lain sebagainya.
Saya berkeyakinan, memperluas radius pergaulan itu sangat penting. Karena kita bisa belajar dari berbagai perspektif, cara pandang, dan pemikiran orang lain. Dengan begitu kita melihat persoalan lebih arif, jernih, dan bening.
Ketika mahasiswa, saya yang aktig di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) biasa berbaul dengan aktivis mahasiswa lain seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Setelah lulus dan aktif di Muhammadiyah, kebiasaan saya bergaul dengan banyak orang tak berhenti. Bukan hanya dengan mereka yang berbeda keyakinan, tapi juga yang berbeda afiliasi.
Ketika masih meliput di lapangan, saya bisa mewawancarai dan berbincang akrab dengan tokoh-tokoh NU. Seperti KH Hasyim Muzadi. Kiai Hasyim, saat masih menjadi ketua PBNU, sangat ramah ketika diajak wawancarai.
Juga dengan Prof. Dr. Ali Maschan Moesa. Ketika menjabat Ketua PWNU Jatim, saya pernah berbincang berjam-jam di rumahnya. Pernah tak sengaja kami di warung nasi bebek, di sana kami ngobrol gayeng.