Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Nugroho Mardiyanto, Eks Bek Persebaya, Kini Merintis Jadi Pelatih

21 Maret 2021   14:34 Diperbarui: 21 Maret 2021   14:46 2401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nugroho Mardiyanto. foto:dok/pshw

Saya banyak mengenal pemain Persebaya. Khususnya di era 1990-2000-an. Salah satu, Nugroho Mardiyanto. Karib dipanggil "Hok". Pria kelahiran Sidoarjo, 15 Maret 1984, ini bermain selama lima musim (2005-2010) di klub kebanggaan Arek-Arek Suroboyo itu.

Sebelum pandemi covid-19, saya sempat bermain bareng dengannya. Di Lapangan Gelora 10 Nopember Tambaksari, Surabaya. Saban hari Kamis, di stadion legendaris tersebut memang dipakai latihan tim Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur. Beberapa pemain eks Persebaya biasanya ikut latihan. Di antaranya, Yusuf Ekodono, Anang Ma'ruf. Mat Halil, Jatmiko, Slamet Bachtiar, Hally Maura, Seger Sutrisno, Ibnu Graham, dan lainnya.

Saat game, saya sempat berduet dengan Nugroho. Dia di posisi libero, saya menempati posisi stopper. Bermain dengannya berasa nyaman. Meski bukan pemain profesional, saya sangat terbantu karena bisa belajar langsung dengannya. Seperti cara mengambil bola, cara me-marking pemain lawan, menutup pergerakan, dan lain sebagainya.

Seperti halnya dalam posisi head to head dengan pemain lawan, Nugroho memberi pelajaran penting bagi saya. "Jangan ambil sekali. Tutup pergerakannya saja. Kalau memang perlu, buang bola keluar," begitu kata dia di lapangan.

Bagi Nugroho, tackling merupakan pilihan terakhir. Jika terpaksa. Itu pun harus dilakukan sebersih mungkin. Mengambil bola, bukan kaki lawan. Karena hal itu sangat berbahaya jika berada di kotak penalti. Apalagi menghadapi pemain yang licik. Yang kerap melakukan diving, yang sengaja berpura-pura terjatuh.

Nasihat Nugroho itu mengingatkan saya kepada Rusdy Bahalwan. Legenda Persebaya dan pernah menukangi Timnas Indonesia. Rusdy yang kini sudah almarhum, mengajarkan bermain sepak bola yang indah, cepat, dan bersih. Dia selalu mengecam terhadap permainan kotor. Mereka yang sengaja mencerai lawan dengan tekel brutal.

Dalam buku Sketsa Tokoh Suroboyo (2006) yang saya tulis, Rusdy Bahalwan sangat menentang adanya pemainan kotor, seperti mengatur skor untuk judi yang pernah sangat merajalela dalam persepakbolaan di Tanah Air.

Kata Rusdy, seorang pemain yang sengaja melepas bola agar timnya kalah, itu berarti telah berbuat dosa. Pelatih yang sengaja menginstruksikan pemainnya mencederai pemain bintang lawan, juga telah berbuat dosa. Begitu juga manajer yang mengatur skor akhir pertandingan, serta wasit yang karena sesuatu hal lantas memihak pada salah satu tim, termasuk perbuatan dosa.

"Karena itu, semua yang telah saya sebutkan di atas harus kita tinggalkan mana kala sepak bola kita mau maju, dan tidak terancam bubar," tutur Rusdy.

Nugroho Mardiyanto menempel ketat striker Persib, Hilton Moreira pada pertandingan LSI 2009/2010. foto:dok/pikiran rakyat.
Nugroho Mardiyanto menempel ketat striker Persib, Hilton Moreira pada pertandingan LSI 2009/2010. foto:dok/pikiran rakyat.
Karakter Ngeyel

Nugroho Mardiyanto memulai karir di klub Suryanaga. Salah satu klub sepak bola legendaris di Surabaya. Suryanaga dulu dihuni mayoritas pemain dari etnis Tionghoa. Suryanaga tercatat menjadi anggota dan mengikuti Kompetisi Internal Persebaya sampai sekarang.  

Tahun 2001, Nugroho mengikuti seleksi Persebaya Junior. Hasilnya, dia terpilih masuk skuad utama. Selama dua tahun Nugroho membela Persebaya Junior. Dia selalu menjadi line up. Nugroho juga ikut mengantarkan klub berjuluk Bajul Ijo itu menjadi juara.  

Penampilan Nugroho yang lugas, keras, dan spartan menjadikan dirinya direkrut Persebaya. Nugroho berhasil memperoleh kepercayaan Jacksen F. Tiago (pelatih Persebaya saat itu) masuk ke skuad senior. Bersama pemaian-pemain hebat, di antaranya Bejo Sugiantoro, Mursyid Effendi, Anang Ma'ruf, dan Nova Arianto. Nama-nama yang saya sebutkan itu pernah mengisi skuad Timnas Indonesia.

Selama di Persebaya, Nugroho Mardiyanto mengenakan nomor punggung 25, sebelum ia akhirnya lebih dikenal sebagai pemain dengan langganan nomor 4 selama memerkuat skuad Bajol Ijo.

Soal nomor punggung 4 itu, cerita Nugroho, sebelumnya dipakai Yeyen Tumena. Namun karena kala itu manajemen Persebaya belum tahu Yeyem masih bertahan dan memakai nomor 4 lagi, jadinya Nugroho memilih nomor yang tersedia. Nugroho memang tak pernah memermasalahkan nomor punggung. Karena baginya yang terpenting adalah bermain fokus dan memenangkan setiap pertandingan untuk Persebaya.

Bermain di Persebaya benar-benar jadi berkah buat Nugroho. Pasalnya, dia bisa belajar dan menimba pengalaman dari para seniornya yang kala itu karirnya lagi moncer-moncernya. Mereka termasuk jajaran pemain belakang terbaik Indonesia.  

Menurut Nugroho, para punggawa senior Persebaya tidak pernah pelit ilmu. Mereka biasa berbagi dan memberi masukan kepada dirinya. Seperti Bejo Sugiantoro, pemain yang dihormati oleh rekan-rekan setimnya. Bejo yang pendiam, menjadi panutan pemain-pemain muda. "Semua sungkat dengan Kaji Bejo," cetus Nugroho.  

Pun dengan Mursyid Effendi. Dia dikenal pemain senior yang ramah, grapyak (suka bergaul) dan suka sering guyon. Mursyid juga dikenal loman (suka memberi) bila ada rezeki. Bukan hanya kepada pemain, tapi juga orang-orang di sekitar lingkungan Mes Persebaya.

Nugroho juga merasa beruntung karena bisa mendapat pelajaran dan pengalaman dari pelatih-pelatih hebat yang pernah menangani Persebaya. Di antaranya Jacksen F. Tiago, Freddy Muli, Danurwindo, Rudy Keltjes, dan Aji Santoso.

Salah satu pelatih yang berkesan bagi Nugroho adalah Freddy Muli. Kata dia, Freddy sangat gila dengan latihan fisik. Kalau melatih, Freddy bisa habis-habisan dalam soal fisik. Belakangan, Nugroho menyadari jika latihan fisik yang keras itu bisa membentuk karakter ngeyel dan kuat sebagai pemain sepak bola.

"Saya sangat termotivasi. Banyak yang saya dapatkan dari Persebaya. Rumah, mobil, dan semua fasilitas. Saya juga bisa tur ke luar negeri bersama Persebaya di Korea, Thailand, dan Vietnam," aku dia.

 

Nugroho Mardiyanto bersama striker PSHW Venko Armedya. foto:dok/pshw
Nugroho Mardiyanto bersama striker PSHW Venko Armedya. foto:dok/pshw
Kasta Tertinggi

Setelah lima musim memerkuat Persebaya, Nugro Mardiyanto hijrahke klub PSBI Blitar yang berkompetisi di Divisi Utama. Di sana, Nugroho hanya bertahan satu musim.  

Nugroho kemudian bergabung dengan Persebo Bodowoso. Yang sama-sama berkompetisi di Divisi Utama. Di klub yang didirikan pada tahun 1970 tersebut, dia hanya bertahan satu musim saja. Nugroho memilih hengkang dan bergabung dengan PS Mojokerto Putra (PS MP) yang didirikan tahun 2001.   

"PS MP ikut Kompetisi Divisi utama. Dua musim saya memperkuat klub tersebut. Lalu bergabung dengan Persibo Bojonegoro. Tapi gak sampai satu musim, saya kembali ke PS MP," ucap Nugroho.

Petualangan Nugroho masih berlanjut. Tahun 2010, Persebaya terkena degradasi, turun ke kompetisi kasta kedua di Divisi Utama. Namun manajemen Persebaya kemudian mengambil keputusan tak ingin berlaga di Divisi Utama. Mereka berkompetisi di Indonesia Premier League (LPI) 2011 yang merupakan kompetisi tandingan Indonesia Super League (ISL).   

Nurgroho mendapat tawaran mengisi posisi slot pemain belakang tim Persebaya yang berlaga di kompetisi IPL. "Saya sangat iba dengar persebaya sampai turun kasta," kata dia yang kemudian menerima tawaran Persebaya itu.

Setelah melawati perjuangan keras, Persebaya yang kalah itu sempat Perjuangan dilatih Subangkit, kemudian digantikan Tony Ho dan Miroslav Janu (kini sudah almarhum), akhirnya berhasil naik ke kasta tertinggi lagi.

Nugroho kemudian pindah ke Persigo Semeru FC. Klub yang berlaga di Liga 2. Di waktu jeda kompetisi, Nugroho sempat mengikuti Kursus Pelatih Lisensi D, kemudian melanjutkan Kursus Pelatih Lisensi C.

Nugroho berpikir jika tak selamanya dia terus menjadi pemain. Suatu saat, dia harus menjadi pelatih. Menularkan ilmu dan pengalaman kepada pemain-pemain muda.   

Benar saja. Bekal mengantongi sertifikat kepelatihan itu, akhirnya bisa dipakai saat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur membeli klub sepak bola Persigoi Semeru FC, tahun 2019. Nama klub tersebut berubah menjadi PS Hizbul Wathan (PSHW). Nugroho ditunjuk sebagai pelatih U-17 dan U-20 PSHW. Kemudian menjadi asisten pelatih PSHW di Liga 2, mendampingi Yusuf Ekodono, seniornya di Persebaya dulu.

Ketika di Liga 2, Nugroho hanya bisa mendampingi satu pertandingan saja. Yakni, saat PSHW bertandang ke Persijap Jepara. Setelah itu, kompetusi dihentikan karena pandemi covid-19.  

Kini, kompetisi Liga 2 20121 bakal digelar. Meski jadwal kompetisi masih belum jelas. Nugroho berharap besar, PSHW bisa menjadi tim yang disegani dan meraih hasil maksimal. Bisa naik level, berlaga di Liga 1.     

Dia meyakini PSHW bisa menjadi tim besar. Karena didukung Muhammadiyah, organisasi Islam yang besar di Indonesia. Antusiasme pendukungnya sangat tinggi. Banyak potensi yang bisa didayagunakan dan dikembangkan. Terlebih, PSHW ada di banyak daerah di Indonesia.    

"Dalam organisasi orangnya baik-baik. Di tim juga enak, seperti keluarga baru. Saya yakin, meski PSHW tim baru, tapi dengan komposisi pelatih dan pemain sekarang bisa mencapai prestasi lebih tinggi. Berkompetisi di kasta tertinggi. Itu target saya," pungkas Nugroho. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun