Suatu petang, saya menelepon I Wayan Titip Sulaksana. Saya berniat mewawancarai dia. Soal maraknya kasus sengketa tanah. Saat itu, yang menjawab telepon seorang perempuan. Dia bilang, "Bapak masih di masjid."
Saya agak terkejut. "Wayan Titip berada di masjid? Bukankah ia penganut Hindu ?" saya bergumam sendiri.
Saya tak bisa menahan bertanya. "Apakah Pak Wayan shalat maghrib, Bu?"
 "Iya, Pak."
Saya memutuskan menyimpan rasa penasaran. Karena saya tak mau berprasangka. Â Lebih baik menunggu penjelasan dari Wayan Titip. Paling tidak, memulai dengan pertanyaan kegiatan dia di masjid.
15 menit kemudian, saya menelepon lagi. Yang menjawab perempuan yang sama. Dia bilang," Bapak masih di masjid. Belum pulang. Biasanya lanjut sampai sholat Isya."
Saya makin penasaran. Sebab, saya kenal Wayan Titip seorang dosen Unair yang vokal. Ngomongnya tanpa tedeng aling-aling (apa adanya). Dia acap kali jadi narasumber wartawan. Terutama soal kasus-kasus korupsi,  kekerasan, dan penyimpangan aparat penegak hukum.
Komentar Wayan Titip acap pedas. Saking pedasnya, dia pernah beperkara dengan kalangan anggota DPRD Jatim. Ceritanya, tahun 1999, Wayan Titip melontarkan pernyataan keras. Dia kesal dengan kinerja anggota dewan yang hanya mikir perutnya sendiri, tapi berteriak atas nama rakyat.
"Otak dewan ada di dengkul," begitu komentar Wayan Titip.
Gara-gara itu, Wayan Titip dipolisikan . Namun kasus tersebut tak berlanjut. Raib ditelan bumi.
Sebagai akademisi dan praktisi, Wayan Titip juga dikenal pejuang HAM . Namanya pernah masuk anggota tim pembela kasus Marsinah, buruh di Sidoarjo yang tewas dibunuh. Kasus itu hingga sekarang tak jelas ujung pangkalnya. Tidak diketahui siapa otak pelakunya.