Inggris membuat dunia terkejut setelah menyatakan mendukung kemerdekaan Palestina. Bukan hanya dunia Barat tetapi dunia Islam juga merasa spesial dengan keputusan politik Inggris ini. Bukankah negeri Ratu Elisabeth ini dikenal sebagai salah satu negara Barat yang terdepan membela Israel sebagaimana halnya Amerika Serikat? Dunia Islam khususnya tidak akan lupa bagaimana Inggris meletakkan dasar berdirinya Israel dengan mengeluarkan Deklarasi Balfour pada tahun 1917.
Bahkan jauh sebelum Deklarasi Balfour tentang pendirian sebuah "nation home" untuk bangsa Yahudi, telah ada pejabat Inggris yang terang-terangan menyatakan dukungannya kepada pendirian sebuah Negara Yahudi. Dia adalah Charles Henry Churchill (1807-1869), seorang perwira menengah dan diplomat Inggris sekaligus Konsul Inggris di Suriah Utsmaniyah (daerah Kesultanan Utsmaniyah di kawasan Levant atau Syam yang meliputi wilayah Lebanon, Suriah, Yordania, Israel, dan Palestina).
Sebelum Deklarasi Balfour atau setelah masa Charles Henry Churchill juga telah ada gerakan politik yang bertujuan mengembalikan bangsa Yahudi ke tanah air mereka. Berawal dari seorang pemikir dan politisi Yahudi bernama Theodor Herzl (1860-1904). Dialah yang dikenal sebagai Bapak Zionisme. Zionisme sendiri adalah suatu gerakan pulangnya 'diaspora' (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi, dengan Jerusalem sebagai ibukota negaranya.
Meski demikian, hingga wafatnya Herzl, impiannya mengembalikan bangsa Yahudi ke tanah airnya belum terwujud. Mereka lebih memilih menetap di beberapa negara Eropa, termasuk Uni Soviet, Polandia dan Jerman. Di ketiga negara ini kita sebut dalam hubungannya dengan pembantaian terhadap etnis Yahudi yang disebut Holocaust.
Deklarasi Balfour: Dukungan Setengah Hati Inggris pada Zionisme
Cita-cita Charles Henry Churchill (Inggris) dan Theodore Herzl (Yahudi) menjadi kenyataan menjelang akhir Perang Dunia I (PD I). Turki Utsmani yang termasuk negara yang kalah dalam PD I harus merelakan beberapa negara ekstrateritorialnya jatuh ke tangan blok Triple Entente atau Sekutu (Inggris, Perancis, Rusia). Di antara wilayah tersebut adalah Palestina yang jatuh ke tangan Inggris.
Dasar bagi pendirian negara Israel berawal pada 2 November 1917 saat Inggris mengeluarkan pernyataan yang disebut "Balfour Declaration". Isinya tentang pendirian sebuah "nation home" bagi bangsa Yahudi di Palestina. Disebut Deklarasi Balfour karena dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour. Menlu Balfour ini menyurat kepada Lord Rotschild, pemimpin komunitas Yahudi di Inggris untuk disampaikan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia atau Federasi Zionis. Organisasi yang didirikan pada tahun 1899 di masa Theodore Herzl masih hidup. Tujuannya mengkampanyekan tanah air permanen untuk orang Yahudi. Federasi Zionis ini sekaligus menjadi payung bagi semua organisasi yang beranggotakan komunitas Yahudi.
Isi pokok Deklarasi Balfour adalah:
"Pemerintah Yang Mulia memandang baik pendirian sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina, dan akan melakukan upaya-upaya terbaiknya untuk memfasilitasi tercapainya tujuan ini, dengan pemahaman yang jelas bahwa tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang-orang Yahudi di negara manapun juga."
Berdasarkan isi Deklarasi Balfour di atas maka dapat disimpulkan bahwa "rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina" berarti tidak mencakup seluruh wilayah Palestina dan "tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina". Jika Inggris berkomitmen pada kedua poin penting dalam Deklarasi Balfour ini maka tidak mengherankan jika sikap politik luar negeri Inggris tidak seperti Amerika Serikat yang lebih tegas menunjukkan keberpihakannya pada Israel.
Perbedaan Pandangan di Inggris dan Amerika SerikatÂ
Penamaan Deklarasi Balfour sebenarnya mengundang kontroversi. Ada yang beranggapan seharusnya bernama Deklarasi Milner karena drafnya disusun dan diperjuangkan oleh Lord Milner. Adapun draf Balfour tidak disetujui oleh rapat kabinet perang. Sementara yang disetujui dalam kabinet, juga oleh negara Sekutu seperti Amerika Serikat dan akhirnya terwujud dalam Mandat Liga Bangsa-Bangsa adalah draf Lord Milner. Meski demikian, draf memang harus dikeluarkan atas nama Menteri Luar Negeri yang sedang menjabat yaitu Arthur Balfour.
Terlepas dari kontroversi itu, muncul pertanyaan mengapa Deklarasi Balfour hanya menyebutkan "nation home" atau "rumah nasional"? Mengapa bukan "nation state" atau "negara nasional"? Hal ini ternyata disebabkan karena adanya pertentangan dalam kabinet Inggris terkait dukungan terhadap Zionis. Lalu kelompok yang awalnya menginginkan sebuah negara nasional bersedia menurunkan tawarannya karena keyakinan bahwa suatu saat nanti sebuah negara Yahudi akan muncul pada waktunya.
Jika Deklarasi Balfour di Inggris menyebutkan istilah "rumah bangsa" maka pers di Amerika Serikat justru lebih berani menunjukkan keberpihakannya. Mereka secara bergantian menyebut "Rumah Nasional Yahudi", "Negara Yahudi", "Republik Yahudi" dan "Persemakmuran Yahudi". Seakan kompak antara pers dengan delegasi Amerika dalam Konferensi Perdamaian Paris tahun 1919, delegasi Amerika menyarankan "bahwa akan dibentuk sebuah negara terpisah di Palestina" dan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) akan diminta mengakui Palestina sebagai sebuah "Negara Yahudi."
Jika disimpulkan pada bagian ini, maka Inggris lebih berhati-hati dalam pembelaannya kepada Zionis Yahudi karena disebabkan perbedaan pandangan dalam kabinet. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Memorandum Kabinet Lord Curzon pada tanggal 26 Oktober 1917 yang diedarkan sepekan sebelum Deklarasi Balfour. Dokumen ini menyatakan bahwa kalimat "Rumah Nasional untuk Ras Yahudi di Palestina" mencatat berbagai pendapat yang berbeda.
Sikap pembelaan pejabat Inggris untuk pendirian sebuah Negara Yahudi di antaranya diperlihatkan oleh Churchill yang duduk dalam pemerintahan Perdana Menteri Arthur Meighen. Churcill secara lugas menyebut: "Jika memungkinkan, akan dibentuk dalam kehidupan kita sebuah Negara Yahudi di bawah perlindungan Inggris yang mungkin terdiri dari tiga atau empat juta orang Yahudi, sebuah peristiwa yang akan menjadi sejarah dunia yang dari setiap sudut pandang akan bermanfaat." Demikian dikutip Wikipedia dari buku The State of The Jews: A Critical Appraisal (Edward Alexander, 2012).
Dukungan Bersyarat Inggris untuk Kemerdekaan Palestina
Inggris melalui Perdana Menteri Keir Starmer akhirnya mengakui negara Palestina meski ditentang oleh Amerika Serikat dan Israel. Pengakuan ini adalah bagian dari proses untuk mengakhiri konflik di Gaza dan membantu mendorong perdamaian antara Israel dan Palestina. Inggris kini mengikuti langkah lebih dari 150 negara di Majelis Umum PBB termasuk Australia dan Kanada yang sudah mengakui kemerdekaan Palestina.
Meski demikian, masih ada kalangan yang menganggap pengakuan ketiga negara ini masih setengah hati karena dengan mengatakan bahwa mereka akan mengakui Palestina pada sidang Majelis Umum PBB, kecuali pemerintah Israel mengambil langkah tegas untuk mengakhiri penderitaan di Gaza, mencapai gencatan senjata, menahan diri dari mencaplok wilayah di Tepi Barat, dan berkomitmen pada proses perdamaian yang menghasilkan solusi dua negara.
Dukungan Inggris untuk Palestina juga terlihat pada situs resmi pemerintah Inggris Foreign Travel Advice yang telah memperbarui peta dan keterangan istilah yang digunakan untuk merujuk wilayah tersebut. Dikutip dari detiknews (24/9/2025), pada halaman di situs resmi gov.uk tercantum catatan: This page has been updated from 'Occupied Palestinian Territories' to 'Palestine' yang artinya, "Halaman ini telah diperbarui dari 'Wilayah Palestina yang Diduduki' menjadi 'Palestina'." Selain menyebut nama negara Palestina, halaman tersebut juga memuat panduan perjalanan dan kebijakan konsuler bagi warganya yang hendak ke Palestina.
Jadi terlepas dari dukungan bersyarat Inggris bersama Australia dan Kanada, langkah politik Inggris di PBB tentu akan memberi dampak yang besar, terutama tentang bagaimana mengakhiri konflik di Gaza. Palestina sendiri telah menyambut keputusan politik Inggris ini dengan segera membuka Kedutaan Besar (Kedubes) di London. Kepala Misi Palestina di Inggris, Husam Zomlot tidak lupa menyinggung bahwa pengakuan Inggris ini memiliki resonansi tersendiri karena Inggris berperan penting meletakkan dasar pembentukan Negara Israel tahun 1948 melalui Deklarasi Balfour 1917. Jika demikian, sikap pemerintah Inggris ini menjadi petunjuk bahwa di internal pemerintahan Inggris memang ada perbedaan pandangan tentang bagaimana bersikap terhadap konflik Palestina dengan Israel, dengan kata lain di internal pemerintahan Inggris hingga kini masih ada perbedaan sikap tentang bagaimana harus mendukung Israel.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI