Tradisi lomba dayung perahu di Riau lagi jadi perbincangan dunia pasca viralnya tarian beberapa anak pemandu Pacu Jalur terutama aksi memukau Rayyan Arkhan Dhika. Apalagi setelah bintang sepakbola dunia di PSG, Neymar melakukan selebrasi dengan meniru gerakan tari pemandu Pacu Jalur tersebut. Berbagai video yang memperlihatkan warga di berbagai belahan dunia meniru tari tersebut semakin bertebaran di media sosial. Tentu hal ini membanggakan rakyat Indonesia. Tetapi mulai ada yang merisaukan saat netizen di negeri tetangga mulai mengklaim Tradisi Pacu Jalur ini sebagai budaya asli mereka.
Sebagai pemerhati sejarah, kami tentu berkepentingan ikut melindungi warisan tradisi leluhur agar tidak terlepas dari masyarakat pemiliknya. Kami lalu mencoba memeriksa beberapa hasil studi terkait tradisi ini. Hingga kami menemukan Jurnal Olahraga Indragiri (JOI) Volume 4 No. 1 Tahun 2019 yang pernah menerbitkan satu hasil studi tentang nilai-nilai budaya Melayu dalam Tradisi Pacu Jalur.
Mengutip artikel dalam jurnal terbitan FKIP Universitas Islam Indragiri tersebut, arti kata "Jalur" dalam dialek Melayu bagi penduduk kampung Rantau Kuantan cukup sulit untuk diberikan pembatasan. Menurut kamus umum Bahasa Indonesia tahun 2000, tidak ada arti yang begitu cocok dengan Jalur yang dimaksud oleh dialek Melayu penduduk Rantau Kuantan itu. Tetapi arti kata Jalur menurut kamus tersebut adalah "barang tipis panjang", sehingga apa yang diartikan dalam kamus tersebut terasa ada hubungannya dengan Jalur yang dimaksud masyarakat Kuantan. Jalur yang dimaksud oleh masyarakat Kuantan memang merupakan suatu perahu yang berukuran panjang kurang lebih 25-30 meter dan lebar ruang bagian tengahnya kurang lebih 1-1,25 meter. Jalur dibuat dari sebatang pohon kayu yang utuh, tanpa dibelah-belah atau dipotong-potong dan disambung seperti membuat perahu layar yang juga mempunyai ukuran panjang dan besar.
Meski demikian, secara umum dikenal Jalur dalam berbagai ukuran dengan jumlah muatan masing-masing. Ada Jalur yang panjangnya hanya 2 hingga 2,5 meter dan hanya muat untuk 1 orang yang disebut Perahu Kenek. Jalur yang lebih besar dari perahu kenek adalah Perahu Barompek karena bisa muat hingga empat orang. Jalur berukuran lebih besar lagi disebut Perahu Tambang yang dipergunakan sebagai perahu penyeberangan. "Tambang" dalam bahasa daerah ini berarti ongkos atau biaya. Jenis perahu ini disebut pula Perahu Lubuk Ambacang karena perahu yang daya muatnya bisa 8 hingga 15 orang ini umumnya dibuat di daerah Lubuk Ambacang, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi.
Jenis Jalur yang terakhir adalah Perahu Godang karena ukurannya yang besar. Panjangnya mencapai 15 hingga 20 meter dengan lebar 1 hingga 1,5 meter. Daya muatnya 500 kg hingga 1 ton. Ukuran Perahu Godang inilah yang mendekati bentuk Jalur tetapi bentuknya tidak semulus Jalur. Perahu ini dibuat agak kasar karena yang diutamakan adalah karena kegunaannya sebagai alat pengangkut barang-barang sehingga harus kokoh dan kuat. Berbeda dengan Jalur yang selain kokoh dan kuat harus dibuat ramping agar laju saat dipacu. Meski demikian, Perahu Godang disebut sebagai cikal-bakal Jalur.
Tradisi Pacu Jalur Berasal dari Rantau Kuantan, Riau
Inilah salah satu hal yang ditegaskan dalam artikel yang ditulis oleh Edi Susrianto Indra Putra dalam jurnal terbitan FKIP Universitas Islam Indragiri. Mengutip buku Masyarakat Melayu di Riau karya UU Hamidy (1982), Tradisi Pacu Jalur sama tuanya dengan dengan masyarakat  Rantau Kuantan lainnya seperti silat, batobo, randai, rarak, dan kayat. Masyarakat Rantau Kuantan sendiri merupakan masyarakat Melayu yang saat ini menetap di Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau di pesisir Timur Pulau Sumatra.
Meski demikian, Tradisi Pacu Jalur baru mulai populer pada awal tahun 1900. Saat itupun, bentuk Jalur belum seindah saat ini sebab yang dipacukan masyarakat adalah perahu besar yang bisa dipakai oleh penduduk untuk pengangkutan hasil bumi. Perahu tersebut cukup besar dan dapat memuat kurang lebih 40 orang pendayung.
Memperingati Hari Besar Islam
Lalu kapan Tradisi Pacu Jalur ini digelar? Jalur ini dipacukan oleh masyarakat di desa-desa sepanjang batang Kuantan, terutama pada waktu merayakan hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, 1 Muaharam, dan sebagainya. Pada awalnya Pacu Jalur ini tidak diberi hadiah tetapi hanya untuk merayakan hari-hari besar tersebut. Setelah pacu berakhir, acara akan dilanjutkan dengan makan bersama dengan hidangan khas masyarakat.