Mohon tunggu...
Agus Tomaros
Agus Tomaros Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sejarah

Historia Magistra Vitae

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ringkasan Konflik Indonesia-Malaysia: Refleksi Hari Nusantara 13 Desember

13 Desember 2023   14:55 Diperbarui: 13 Desember 2023   15:11 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Sukarno meninjau sukarelawan Dwikora di Pasar Minggu pada 27 Mei 1964 (Kompas.com)

Inspirasi tulisan ini adalah sebuah flyer yang dikirim seorang teman di sebuah grup sejarah nasional. Flyer yang bersumber dari Pusat Penyelidikan Dasar & I-WIN Library University Sains Malaysia itu memberikan informasi tentang penetapan 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Adapun bangsa-bangsa yang dimaksudkan sebagai Nusantara itu adalah Indonesia, Malaysia, Brunei, Philippines, Champa, Pattani, dan Papua New Guinea (penulisan sesuai dengan flyer). Adapun tema yang diusung dan menjadi pesan informasi adalah "Kita serumpun. Kita sedarah, sedaging." Maka ulasan kami dalam artikel kali ini berisi ringkasan sejarah tentang konflik dua bangsa serumpun, sedarah dan sedaging" yang disebut pertama dalam flyer, yaitu Indonesia dan Malaysia. Semoga bisa menjadi refleksi di peringatan Hari Nusantara, agar konflik yang sama tidak terulang di masa-masa selanjutnya.

Konfrontasi dengan Malaysia era 1960-an

Konflik pertama antara Indonesia dengan Malaysia terkait dengan spirit melawan imperialisme dan kolonialisme. Presiden Sukarno di era 60-an telah memposisikan diri sebagai pemimpin negara-negara Asia Afrika yang disebutnya sebagai Nefo (New Emerging Forces) yang sedang menghadapi dominasi Oldefo (Old Destablished Forces). Di antara kekuatan Oldefo yang masih ingin menancapkan pengaruhnya di Nusantara adalah Amerika Serikat dan Inggris. Kedua negara tersebut dalam pandangan Sukarno mengusung spirit neo-imperialisme dan kolonialisme (nekolim).

Lalu apa hubungannya dengan Malaysia? Sukarno mencurigai salah satu bangsa di Nusantara ini sedang di"garap" oleh kekuatan nekolim tersebut dengan rencana pembentukan "Federasi Malaysia" yang saat itu memang belum mendapatkan kedaulatan penuh dari penjajahan Inggris. Federasi dimaksud direncanakan meliputi Singapura, Brunei, Serawak, Malaya dan Sabah.

Sukarno tidak main-main dalam melawan kampanye nekolim ini dibuktikan dengan pemakluman "Komando Dwikora" atau "Dwi Komando Rakyat" pada suatu rapat raksasa (1964). Isi Dwikora adalah pertinggi ketahanan revolusi Indonesia, dan bantu perjuangan revolusioner  rakyat Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia. Semangat Bung Karno juga terlihat saat ia berpidato di depan massa dengan menciptakan slogan "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika." Semangat berapi-api Bung Karno menular ke masyarakat sehingga slogan "Ganyang Malaysia" juga menggema di tengah masyarakat.

Protes kaum ibu Malaysia terhadap Sukarno (Kompas.com)
Protes kaum ibu Malaysia terhadap Sukarno (Kompas.com)

Konfrontasi dengan Malaysia ini hanya berakhir setelah pemerintahan Orde Lama Sukarno berakhir pada tahun 1966 dan berpindah ke Orde Baru di bawah pemerintahan Suharto. Penguasa Orde Baru ini kemudian memaklumkan normalisasi hubungan kedua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia yang puncaknya penandatanganan perjanjian perdamaian pada 11 Agustus 1966.

Ketegangan Akibat Sengketa Ambalat

Ketegangan Indonesia dan Malaysia terkait Blok Ambalat mulai meruncing sejak 1979, saat Malaysia membuat peta tapal batas continental dan maritim baru dengan memasukkan Blok Ambalat ke dalam wilayahnya. Hal ini jelas memicu protes Indonesia yang dengan tegas menyatakan Ambalat sebagai wilayahnya. Pertama, secara historis, Ambalat merupakan wilayah Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur yang jelas masuk Indonesia. Kedua, berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi RI dan tercantum pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1984, Ambalat diakui dunia sebagai milik Indonesia.

Meski demikian, Malaysia kerap melakukan provokasi melalui kapal perang dan pesawat tempur yang sering terlihat di Ambalat. Ketegangan nyaris pecah menjadi konflik terbuka pada 2005 saat Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia sama-sama dalam kondisi siap tempur. Bahkan saat itu sudah sempat terjadi saling serempet kapal perang. Akibatnya Panglima TNI Angkatan Laut Indonesia mengeluarkan keputusan sekaligus perintah kepada personil kapal perang agar tidak mendahului menembak kecuali mereka yang terlebih dulu menembak. Ini adalah sebuah pembuktian cinta damai dan penghargaan kita terhadap saudara serumpun, sedarah dan sedaging kita.

Ketegangan tidak berhenti melainkan kembali memasuki episode baru pada tahun 2007. Dipicu oleh kapal perang Malaysia yang memasuki wilayah laut Indonesia disusul oleh pesawat patroli Malaysia yang terbang di wilayah udara Indonesia. Pengalaman itu membuat Indonesia dua tahun berikutnya memperingatkan agar Malaysia tidak melakukan provokasi militer. Hingga 2015, belum tercipta kedamaian di Ambalat sehingga pemerintah Indonesia "gerah" dan melayangkan protes diplomatik kepada pemerintah Malaysia. Ketegasan ini untuk mencegah hal yang sama terjadi sebagaimana nasib Sipadan dan Ligitan.

Selain upaya diplomatik, Indonesia juga sangat serius menjaga kedaulatan wilayahnya. Panglima TNI Moeldoko saat itu meningkatkan status Pangkalan Udara Tarakan di Kalimantan Utara menjadi tipe B menyusul sejumlah insiden masuknya pesawat berbendera asing ke wilayah udara di utara Indonesia itu. Alat utama sistem persenjataan seperti tiga kapal perang (KRI), dua pesawat Sukhoi Su-27 dan Su.30, dan tiga F-16 Fighting Falcon juga disiagakan di Makassar, Pekanbaru dan Madiun.

Lalu bagaimana upaya damai dua bangsa serumpun ini? Keduanya sepakat melakukan perundingan terkait batas wilayah masing-masing. Perundingan berpusat pada lima titik, di antaranya Selat Malaka, Selat Malaka Selatan, Selat Singapura bagian timur antara Bintan dan Johor, Laut China Selatan di antara Tanjung Datu yang berbatasan dengan Serawak, dan Laut Sulawesi.

Nelayan Indonesia di perbatasan Indonesia-Malaysia memperingati HUT RI 76 di Karang Ungaran (Kompas.com)
Nelayan Indonesia di perbatasan Indonesia-Malaysia memperingati HUT RI 76 di Karang Ungaran (Kompas.com)

Konflik karena Penggunaan Fragmen Budaya

Konflik karena penggunaan fragmen budaya bangsa tertentu oleh bangsa lain memang bisa saja terjadi di antara bangsa-bangsa yang serumpun karena adanya kemiripan unsur budaya seperti alat musik, lagu, tarian, pakaian, hingga makanan. Makanya diperlukan pendekatan historis untuk menyelesaikan konflik yang terkait dengan budaya ini.

Hasil penelusuran penulis ke beberapa sumber media nasional, setidaknya ada beberapa fragmen budaya yang sempat digunakan oleh Malaysia yaitu lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo, Pencak Silat, Wayang Kulit, Rendang, Tari Pendet, Tari Piring, Tari Tor-Tor, Angklung, Batik, Lunpia/Lumpia Semarang, alat music Godang Sambilan, Beras Adan, dan Kuda Lumping.

Pertunjukan reog ponorog dalam parade Momo Asian Para games 2018 di Monas tahun 2018 (Kompas.com)
Pertunjukan reog ponorog dalam parade Momo Asian Para games 2018 di Monas tahun 2018 (Kompas.com)

Lalu bagaimana mencari solusi atas sengketa budaya di antara saudara serumpun? Tentu jawaban kuncinya ada di tangan UNESCO, lembaga PBB yang membidangi kebudayaan. Hasilnya fragmen budaya yang sempat diklaim dan dipergunakan oleh Malaysia akhirnya diakui oleh UNESCO sebagai warisan tak benda Indonesia. Fragmen budaya tersebut misalnya Pencak Silat yang telah diakui oleh UNESCO sejak tahun 2019.

Berikutnya, sisi positif yang harus diambil oleh Indonesia dari penggunaan atau klaim budayanya oleh bangsa lain adalah perlunya bangsa ini menjaga warisan budayanya dengan mendaftarkannya di UNESCO. Menjaga harta titipan nenek moyang merupakan kewajiban generasi setelah mereka. Bagi kita di dalam negeri, upaya ini adalah bentuk apresiasi terhadap keluhuran nilai yang terkandung dalam warisan nenek moyang sehingga perlu diwariskan dari generasi ke generasi. Keluar negeri, upaya ini menjaga kedaulatan budaya kita sekaligus mencegah terjadinya konflik dengan bangsa serumpun.

Penulis berharap di momen Hari Nusantara ini, bangsa-bangsa di Nusantara merawat sikap saling menghargai yang pernah dicontohkan oleh nenek moyang bangsa-bangsa Nusantara di era sebelum terpecah menjadi negara-negara modern. Mari saling menghargai kedaulatan masing-masing, baik kedaulatan batas wilayah maupun kedaulatan budaya. Perpecahan di antara bangsa se Nusantara akan memudahkan masuknya kekuatan asing menancapkan misi mereka "neo-imperialisme dan kolonialisme" meminjam istilah Bung Karno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun