Yasser Arafat juga dianggap membuat kesalahan karena dinilai mendukung Saddam Hussein (Irak) menganeksasi Kuwait. Negara-negara Arab kemudian marah terhadap Yasser Arafat. Akibatnya, 95% dari 600 ribu orang Palestina yang tinggal di Kuwait harus meninggalkan negara  ini. Sikap Kuwait diikuti Arab Saudi yang memutuskan menghentikan bantuan dananya untuk Palestina.
Meski demikian, Yasser Arafat tetap mengedepankan perdamaian menghadapi tantangan-tantangan itu. Tak patah arang. Terusir dari Yordania, ia mencoba bergerilya ke Suriah tetapi tidak mendapat respon dari pemimpin negara ini yang baru saja mengudeta pemerintahan sebelumnya.
Bersama sekitar 2.000 pasukannya, Yasser Arafat meneruskan gerilyanya ke Lebanon, tetapi lagi-lagi negara ini juga menjadi sasaran invasi Israel karena keberadaan gerilyawan Palestina. Sekali lagi, Yasser Arafat dan milisinya meninggalkan Lebanon pada 1982 menuju Tunisia. Ia mencoba kembali ke Lebanon pada 1983, tetapi pemberontak dari kalangan Fatah yang didukung Suriah kembali mengepungnya.
Deklarasi Kemerdekaan Palestina dan Dukungan Internasional
Pelariannya melintasi beberapa negara mengantarkan dirinya dan pasukannya sampai di Al-Jazair. 15 Nopember 1988 PLO mendeklarasikan berdirinya negara Palestina di negara ini dengan Yasser Arafat sebagai presiden sekaligus Ketua PLO. Bersamaan dengan momen tersebut, rakyat Palestina keluar dari Masjid Al-Aqsha dan selanjutnya berkumpul di depan Dome of The Rock untuk mendengarkan pembacaan Deklarasi Kemerdekaan Palestina.
Dalam beberapa hari pasca Deklarasi Kemerdekaan Palestina oleh Yasser Arafat, lebih dari 25 negara telah menyatakan dukungannya, termasuk Uni Soviet, bahkan dalam perkembangannya mendapat pengakuan diplomatik (de jure) hingga 130 negara. Adapun negara Eropa walaupun menunda pengakuan karena tekanan politik Amerika Serikat, tetap memberi pengakuan diplomatik secara de facto. Sikap Amerika Serikat sendiri berbalik ikut mendukung setelah PBB mengeluarkan resolusi No. 242 dan 338 yang mengharuskan pengakuan kedaulatan dan independensi politik setiap negara Timur Tengah (termasuk Israel), dan hak mereka untuk hidup berdampingan secara damai dalam batas-batas yang aman dan diakui.
PBB sendiri juga masih mengakui PLO sebagai wakil Palestina. Inilah di antaranya yang mendorong terciptanya perdamaian dengan Israel pada 13 September 1993 saat Yasser Arafat dan PM Yizthak Rabin menandatangani Perjanjian Oslo. Israel mengakui PLO dan memberikan otonomi jalur Gaza dan kota Jericho (Aricha), sedangkan PLO menjanjikan perdamaian dengan mengakhiri klaim terhadap wilayah Israel. Perdamaian ini sangat berpengaruh bagi terjadinya stabilitas politik dan keamanan di Timur Tengah.
Perjanjian perdamaian berikutnya didahului dengan pembentukan sebuah dewan keamanan oleh pihak Israel dan PLO. Dewan ini lalu bertemu pada 22 Pebruari 1994 untuk merumuskan perundingan yang mengarah pada pemerintahan sendiri Palestina. Hasilnya pada 4 Mei 1994, Israel dan PLO kembali menggelar kesepakatan di Kairo, Mesir. Kesepakatan itu menetapkan tentara Israel harus mundur dari 60% wilayah jalur Gaza dan kota Jericho di Tepi Barat.
Perdamaian yang dimotori Yasser Arafat dan PM Yitzhak Rabin menyebabkan keduanya mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian pada 1994. Mereka dianggap berjasa merubah perang dan kebencian menjadi perdamaian dan kerja sama di kawasan Timur Tengah. Konflik di kawasan ini memang telah terjadi sejak usainya Perang Dunia II dan barulah tercipta perdamaian setelah 45 tahun di masa PLO dengan hadirnya sosok Yasser Arafat.