Lha, terus, seberapa banyak konsumen hingga pelanggan paling loyal (loyalis)?
Saya bukanlah seorang peneliti. Tentu saja, saya tidak perlu repot menjadi peneliti "kagetan" serta-merta menghitung jumlah orang, kebiasaan belanja sehari-hari, jumlah minimarket lainnya, sampai kelompok loyalis keduanya.
Dan, karena bukan peneliti, saya pun tidak perlu repot berhitung mengenai untung-rugi dalam persaingan keduanya. Meski begitu, ditambah orientasi profit bagi setiap pelaku bisnis, soal "untung-rugi" terkadang mengusik benak saya.
Mustahil pebisnis waralaba semacam keduanya rela menerima kerugian, bahkan sering kali menerima kerugian, 'kan?
Keuntungan profit itu sudah pasti, tetapi bagaimana dengan "untung-rugi" dalam persaingan ketat berjarak padat itu?
Pemikiran saya justru bertolak belakang dengan realitas, 'kan? Toh, apa pun pemikiran saya, gerai keduanya bisa berlomba-lomba untuk menguasai sekian meter di pinggir jalan sampai pelosok perkampungan, 'kan?
Mungkin karena latar kekampungan saya, mudahlah terjadi keterkejutan dalam pemikiran saya itu. Mungkin saya lupa bahwa di pasar tradisional pun para pedagang singkong, ikan asin, bumbu dapur, dll. bisa "bersaing" secara bersebelahan lapak, dan persaingan dalam jarak paling rapat terjadi setiap hari. Â
Oh, jangan-jangan, bukan karena kampungan yang lupa pada "persaingan" pebisnis dalam satu ruang, tetapi justru saya tergolong kepo orangnya?
Saking (karena terlalu) kepo, saya pun lupa lagi bahwa rezeki sudah ada yang mengaturnya. Tidak akan bisa diserobot, dicuri, dibatalkan, atau apalah oleh siapa pun. Masing-masing sudah memiliki porsinya. Betul, tidak?
Ah, sudahlah. Bodo amat-lah. Saya mau menulis hal lainnya, ah!
Â
*******
Ruang Lebur Cibubur, 28 Oktober 2019