Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Persaingan Ketat dalam Jarak Rapat

10 November 2019   02:14 Diperbarui: 10 November 2019   02:33 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sebagai pendatang dari seberang yang kurang semarak dalam persaingan bisnis waralaba (Franchise Fee) berupa minimarket bernama "Alfamart" dan "Indomaret", saya mengalami semacam keterkejutan budaya ketika melintasi sepenggal Jalan Alternatif Cibubur. Sangat memalukan, memang!

Sebelumnya, 23/10 sempat muncul sebuah video yang berkaitan dengan gerai ritel, terutama parkir, berlokasi di Bekasi, serta-merta viral di media sosial, tetapi saya tidak menggubrisnya. Saya masih di Balikpapan ketika itu, bahkan sedang bersiap untuk berangkat ke Jakarta.

Sebenarnya, kedua papan nama bisnis ritel tersebut bukanlah sesuatu yang baru saja saya temui. 2006-2009 saya sudah menyaksikan salah satu "bendera"-nya berkibar ketika tinggal di Kompleks Penerangan Jakbar, di sekitar Sentul City Bogor, dan beberapa tahun terakhir di daerah tempat tinggal saya di Balikpapan.  

Lantas, ada apa, sih, kok mendadak terkejut?

Mungkin saya kurang piknik sehingga mudah terkejut begitu sehingga sangat memalukan. Saya tidak perlu gengsi mengungkapkan "kedaerahan" (tepatnya: kekampungan) saya. Saya, mah, emang gitu orangnya.

Karena saban hari (sejak 25/10), bahkan mungkin sampai entah beberapa bulan ke depan, saya akan melintasi jalan yang tergolong "sering macet" itu untuk pergi-pulang bekerja. Belum lagi kalau saya masuk ke sebuah SPBU, pasti telah ditunggu oleh sebuah minimarket dengan salah satu bendera.

Tidak cukup di wilayah ramai, melainkan pula hingga merangsek ke wilayah pinggiran yang masih berdekatan dengan persawahan dan perkampungan. Sebagian besar memajang produk-produk umum. Sebagian lagi berupa produk yang berstempel papan nama mereka.

Mau-tidak mau, suka-tidak suka, ataupun bosan-tidak bosan, secara rutin saya "terpaksa" menyaksikan pemandangan berupa kedua papan nama tersebut. Ya, "terpaksa". Kalau saya menutup mata, pasti fatal akibatnya, yaitu menabrak kendaraan di sekitar saya. Iya, 'kan?

Nah, yang terlihat secara gamblang ialah papan nama "Alfamart" sekaligus "Alfamidi" tanpa "Betamart" apalagi "Omegamart", dan "Indomaret" tanpa "Indoapril", "Indomei", dan seterusnya. Di antara persaingan ketat kedua nama tersebut, ada juga beberapa toko kelontong milik orang biasa.

Jarak antara Alfamart dan Indomaret juga cukup pendek. Bahkan, di tempat lain, gerai keduanya malah berdampingan. Aduhai mesranya!

Di samping itu, lalu-lintas kendaraan yang melaju dengan cukup kencang di jalan raya, semisal Jalan Alternatif Cibubur. Kebanyakan sekadar melintas begitu saja hingga entah akan berhenti di mana.

Lha, terus, seberapa banyak konsumen hingga pelanggan paling loyal (loyalis)?

Saya bukanlah seorang peneliti. Tentu saja, saya tidak perlu repot menjadi peneliti "kagetan" serta-merta menghitung jumlah orang, kebiasaan belanja sehari-hari, jumlah minimarket lainnya, sampai kelompok loyalis keduanya.

Dan, karena bukan peneliti, saya pun tidak perlu repot berhitung mengenai untung-rugi dalam persaingan keduanya. Meski begitu, ditambah orientasi profit bagi setiap pelaku bisnis, soal "untung-rugi" terkadang mengusik benak saya.

Mustahil pebisnis waralaba semacam keduanya rela menerima kerugian, bahkan sering kali menerima kerugian, 'kan?

Keuntungan profit itu sudah pasti, tetapi bagaimana dengan "untung-rugi" dalam persaingan ketat berjarak padat itu?

Pemikiran saya justru bertolak belakang dengan realitas, 'kan? Toh, apa pun pemikiran saya, gerai keduanya bisa berlomba-lomba untuk menguasai sekian meter di pinggir jalan sampai pelosok perkampungan, 'kan?

Mungkin karena latar kekampungan saya, mudahlah terjadi keterkejutan dalam pemikiran saya itu. Mungkin saya lupa bahwa di pasar tradisional pun para pedagang singkong, ikan asin, bumbu dapur, dll. bisa "bersaing" secara bersebelahan lapak, dan persaingan dalam jarak paling rapat terjadi setiap hari.  

Oh, jangan-jangan, bukan karena kampungan yang lupa pada "persaingan" pebisnis dalam satu ruang, tetapi justru saya tergolong kepo orangnya?

Saking (karena terlalu) kepo, saya pun lupa lagi bahwa rezeki sudah ada yang mengaturnya. Tidak akan bisa diserobot, dicuri, dibatalkan, atau apalah oleh siapa pun. Masing-masing sudah memiliki porsinya. Betul, tidak?

Ah, sudahlah. Bodo amat-lah. Saya mau menulis hal lainnya, ah!

 

*******

Ruang Lebur Cibubur, 28 Oktober 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun