Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsistenitas dalam Titik Terendah dari Sebuah Keterbatasan

30 Oktober 2018   15:18 Diperbarui: 1 November 2018   18:43 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 30 Oktober saya mendapat catatan (notification) dari Kompasiana.

Hallo, Kompasianer. Melihat dari performa tulisan kamu di bulan Oktober, kamu berpeluang untuk mendapatkan K-Rewards. Namun apabila Anda tidak menginginkan rewards tersebut Anda bisa memberikan seluruh pendapatan Anda untuk didonasikan melalui program K-Rewards. Simak selengkapnya melalui link ini.

Saya tidak menjawab (membalas) catatan di bawahnya, atau mengikuti arahan Kompasiana dengan "Simak selengkapnya melalui link ini". Mendadak saya kehilangan kata-kata karena teringat pada program K-Rewards sebelumnya.

K-Rewards

Pada 26 Maret 2018 nama saya tercantum sebagai penerima K-Reward senilai Rp52.660 dalam artikel "Deretan Kompasianer yang Berhak Meraih Pendapatan dari Program K-Rewards!"

Esoknya, 27/3, Kompasiana memajang artikel Lewat K-Rewards, Kami Ingin Mengapresiasi Semua Kompasianer.

Pada alinea pertama tertulis, "Selama sebulan terakhir, Kompasiana menggelar satu program yang belum pernah diadakan sebelumnya. Yaitu program loyalitas bernama K-Rewards yang memberikan kesempatan kepada semua penulis di Kompasiana untuk mendapatkan uang berdasarkan performa artikel yang didapat selama satu bulan."

Lalu saya menulis komentar, "Saya mengapresiasi kebaikan pengelola Kompasiana, yang salah (lho, mengapa "salah", ya?) satunya adalah program K-Reward. Saya percaya bahwa program tersebut berpotensi sebagai pemicu bagi sebagian (besar atau kecil, ya, terserah) Kompasianer.

Bagi saya sendiri, menulis dan memajang karya (tulisan/artikel) di Kompasiana tetaplah seperti awal motivasi saya sejak bergabung, yaitu 1) melatih diri dalam berpikir dan menyampaikan pemikiran kepada siapa saja yang berminat membacanya melalui media alternatif bernama Kompasiana; 2) menyimpan atau menabung karya; 3) mencoba untuk menikmati suasana ber-Kompasiana, baik disukai, dikomentari maupun sekadar dibaca.

Dari akun yang non-aktif bernama Agustinus Wahyono ke Gus Noy ini pun merupakan upaya saya untuk konsisten (bandel?) dengan motivasi awal itu. Sangat menyenangkan bagi saya sendiri. Kalau saya sendiri tidak senang, ya,apa gunanya saya 'konsisten' (bandel?) begini, 'kan?

Itu saja pendapat saya. Mengenai 'pendapatan', mohon menjadi rahasia saya saja. Terima kasih."

Pada 4 April nama saya tercantum lagi dalam artikel "Inilah Peraih K-Rewards yang Telah Melewati Proses Verifikasi." Tetapi nama saya berwana merah.

"Tanda merah salah mengisi data kolom Mandiri e-cash," tulis Kompasiana.

Pada 5 April saya pun menulis komentar lagi, "Ternyata Gus Noy gagal. Sudah berusaha. Mungkin bukan rezeki yang patut diterima. Berikan saja ke panti asuhan. Terima kasih."

Virus Kompasianus dan Fulus

Pada Sabtu, 6/10, seusai diskusi "Menulis di Media Online" di ruang terbuka IRGSC (Institute of Resources Governance and Social Change" saya menyampaikan secara langsung kepada Tilaria Padika dan Arnold Adoe bahwasannya saya tidak mencari uang melalui karya saya di Kompasiana.

Ketika saya berada di ruangan lain, seorang peserta diskusi mendatangi saya. "Kak Gege (Tilaria Padika) dapat uang dari Kompasiana, ya," tanyanya.  

Saya jawab, "Iya."

Memang benar begitu karena, sebelumnya, Jumat, 5/10, saya sudah membaca artikel "Kompasianer Paling 'Mantul' di K-Rewards Edisi September 2018!", dimana Tilaria Padika alias Gege berada pada posisi puncak dengan K-rewards senilai Rp2.864.640, dan Arnold Adoe di posisi 5 dengan nilai Rp853.710.

Pada acara diskusi itu Tilaria dan Arnold sedang membagikan pengalaman menulis alias menulari "virus Kompasianus" kepada sebagian orang muda di Kupang. Karena mendapat respons positif dari para peserta, acara dilanjutkan pada Rabu, 10/10.

Lagi-lagi, saya pun "kecipratan". Beberapa peserta menanyakan perihal menulis di Kompasiana, dan mendapat uang.

Saya menanggapi pertanyaan itu dengan apa adanya, bahwa saya menulis di Kompasiana sama sekali tidak mendapat uang. Sejak pertama menulis di Kompasiana, 5/3/2013, motivasi saya bukanlah demi mendapat uang sebagaimana yang saya tuliskan dalam komentar pada 27/3/2018.

"Bagi saya sendiri, menulis dan memajang karya (tulisan/artikel) di Kompasiana tetaplah seperti awal motivasi saya sejak bergabung, yaitu 1) melatih diri dalam berpikir dan menyampaikan pemikiran kepada siapa saja yang berminat membacanya melalui media alternatif bernama Kompasiana; 2) menyimpan atau menabung karya; 3) mencoba untuk menikmati suasana ber-Kompasiana, baik disukai, dikomentari maupun sekadar dibaca."

Ada-tidaknya K-rewards untuk saya, sudah saya anggap angin biasa saja. Tidak berbeda dengan hadiah ratusan juta rupiah yang sering singgah di ponsel saya karena menang undian yang tidak pernah saya ketahui. Tidak ada yang perlu saya tangkap karena sejak semula memang saya tidak berusaha mencari "angin", 'kan?

Belajar Konsisten

Sejak tidak mau repot mengurusi Mandiri e-Cash pada 5 April, dan bukan tipe "penjilat ludah sendiri" dengan motivasi menulis di Kompasiana itu saya sama sekali tidak lagi memikirkan keterkaitan antara menulis di Kompasiana dan manfaat finansialnya (K-rewards).

Di samping itu, saya juga tidak memikirkan hal verifikasi atau validitasi data saya. Mau tervaliditasi yang bisa mengubah hijau menjadi biru, bukanlah hal atau urusan yang perlu saya perjuangkan. Saya menulis, ya, menulis saja. Apa adanya.   

Apakah karena saya sudah kaya raya?

Jujur saja, saya penganggur berijazah S-1 Teknik Arsitektur. Saya hanya mengharapkan belas kasihan orang melalui jasa perancangan bangunan. Beberapa bulan saya bisa mendapat angin lewat saja.

Kalaupun ada angin yang singgah, sesekali hanya gerimis alias harganya jauh di bawah standard. Kalau tarif jasa arsitek yang resmi Rp200.000 per meter persegi, harga jasa saya disepakati oleh pengguna pada angka Rp30.000 per meter persegi.

Ya, sesekali gerimis. Paling sering anginnya adalah angin kemarau. Maksud saya, sering kali tidak dibayar dengan pelbagai alasan para pengguna jasa saya, khususnya di Balikpapan. Keren, 'kan?

Di Balikpapan pun saya tinggal di rumah mertua. Kendaraan saya berupa sepeda motor produk awal 2000-an dari warisan mertua saya yang meninggal pada 23 Maret 2013. Keren juga, 'kan?

Kondisi semacam itu sangat tidak menyenangkan dalam kehidupan, bahkan posisi saya sebagai kepala rumah tangga. Laki-laki tidak bertanggung jawab, begitu, 'kan?  

Semakin tidak menyenangkan ketika sebagian orang muda di Kupang sedang menggebu-gebu untuk menulis di Kompasiana, dan mendapat uang seperti Tilaria dan Arnold. Perbincangan terkait dengan tulisan di Kompasiana pun tidak jauh dari harapan "mendapat uang", apalagi sejak akhir September 2018 sebagian dari mereka membaca beberapa artikel saya berstempel "Artikel Utama" (Headline). Aduhai!

Terus terang, saya seakan kehabisan kata untuk menanggapi mereka. Kalau saya tidak mendapat uang dari Kompasiana pada saat sebagian artikel  saya berstempel "Artikel Utama", apakah bisa berpengaruh negatif terhadap semangat mereka menulis di Kompasiana, ya?

Sangat tidak menyenangkan jika sikap saya tidak peduli pada kaitan artikel-uang. Tetapi kalau saya harus menjilat ludah saya sendiri pada saat saya tidak memiliki gaji tetap, tunjangan, apalagi pensiun, laki-laki macam apa saya ini?

Saya sangat bisa untuk tidak repot memikirkan apa tanggapan Kompasiana, rekan Kompasianer, dan orang-orang muda Kupang yang sedang giat menulis di Kompasiana. Toh, saya memiliki prinsip hidup bikinan saya sendiri. Toh, sejak pertama saya belajar tulis-menulis pun bukan karena "ingin mendapat uang". Lantas?

Kabar dari Kompasiana pada catatan (notification), 30/10, mengenai donasi melalui program K-rewards itu, saya pikir, bisa menjadi alasan terbaik untuk mengalihkan rasa tidak menyenangkan dalam diri saya. Paling tidak, ya, bisa menangkis pertanyaan bertubi-tubi seputar menulis dan mendapat uang dari tulisan di Kompasiana.

Apakah saya perlu repot lagi dengan menanggapi catatan Kompasiana itu?

Seperti tanggapan saya dulu (5/4), "Mungkin bukan rezeki yang patut diterima. Berikan saja ke panti asuhan", saya anggap bisa menjadi tanggapannya. Dan, tulisan ini merupakan penegasan saya.

Saya hanya sedang belajar konsisten, dan menikmati kemiskinan materi saya dengan segala puji-syukur. Saya pun teringat pada sedekah seorang janda tua nan miskin pula, yang "memberi dengan kekurangannya".

Bukankah kalau hari ini atau besok pagi saya mati, toh, saya tidak akan membawa uang ke langit?

Nah, silakan saja kepada Kompasiana untuk menindaklanjutinya. Semoga donasi saya memang benar-benar bisa menyenangkan orang lain.

*******

 Kupang, 30 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun