Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Belajar Bahasa Indonesia dari Sekolah

18 April 2018   22:13 Diperbarui: 18 April 2018   22:51 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tergoda untuk mengomentari Kompasiana edisi 16 April 2018 yang menyajikan pro-kontra dengan pertanyaan berhuruf kapital, "DARI MANA ANDA BELAJAR BAHASA INDONESIA?". Lalu disusul dengan pertanyaan, "Melihat pertanyaan di atas, manakah yang Anda jadikan rujukan untuk belajar bahasa Indonesia yang baik dan tepat?"

Dari mana saya belajar bahasa Indonesia? Dari pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Berikutnya, di Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Ketika kuliah, belajar dan berlatih secara intensif saya lakukan di pers mahasiswa, mulai dari menulis daftar pertanyaan sampai wawancara, menyunting, menulis opini, ulasan, dan seterusnya.

Jawaban saya sederhana saja, 'kan, tanpa repot dengan pertanyaan susulan?

Kalau  mau repot, saya mencoba melirik pertanyaan susulan. Antara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Ivan Lanin, manakah yang saya jadikan rujukan untuk belajar bahasa Indonesia yang baik dan tepat.

Sebentar. Ada yang janggal ketika saya mulai berpikir mengenai pertanyaan susulan yang menyandingkan (tepatnya : menarungkan atau menduelkan) "kamus" (benda) dan "Ivan Lanin" (orang; personal).

Atau, kalaupun kemudian "kamus" itu merupakan simbol suatu lembaga yang berisi orang-orang, bagaimana bisa "orang-orang" itu "dibenturkan" dengan "seseorang" begitu? Kok, seperti "main keroyokan", ya?

Kejanggalan ini yang tadi saya singgung "kalau mau repot", dan sudah kelihatan "repot".  Daripada sekadar basah begini, ya, sudahlah, saya coba untuk "berendam" tanpa perlu repot "menyelam".

KBBI, dulu, tidaklah saya kenal. Semasa aktif di pers mahasiswa, saya hanya mengenal Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) karangan W. J. S. Poerwadarminta (1986) yang berada di sekretariat. KUBI itu kami pakai untuk mencari arti kata tertentu sekaligus mencari kata yang tepat ketika menyunting. Intinya, KUBI itu berkaitan dengan perbendaharaan kata.

Baru sekian tahun ini saya mengenal kamus bernama KBBI. Belum lama juga saya memanfaatkan KBBI versi daring (online). Hal ini, lagi-lagi, berkaitan dengan upaya saya dalam pencarian arti kata. Itu saja dulu batasan yang saya ketahui. Maklumlah, profesi saya tidak tergantung pada KBBI.

Sementara nama Ivan Lanin (IL) saya ketahui di internet. Beberapa penulis atau sastrawan berteman (follow) dengan IL, dan sebagian dari mereka memajang tulisan IL berkaitan dengan Ejaan yang Disempurnakan (EyD).

Saya terpaksa mundur lagi. Mengenai EyD, ketika SMP saya pernah melihat buku yang tipis itu di perpustakaan sekolah. Sampulnya didominasi oleh biru tua. Saya tidak pernah menggunakannya karena tidaklah penting bagi saya ketika itu. Toh, nilai pelajaran Bahasa Indonesia saya selalu merah di rapor.

Buku EyD selanjutnya saya lihat di rak buku sekretariat pers mahasiswa. Sesekali saya pakai ketika menulis. Sesekali, oh, aduhai! Tetapi, setelah tidak aktif di pers mahasiswa, barulah saya menjadikan buku EyD dengan judul sampul Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan sebagai pendamping saya dalam tulis-menulis. Buku EyD itu didominasi warna kuning dan oranye.

Era internet sekarang memberi fasilitas yang cukup memadai bagi saya dalam tulis-menulis, dan melihat KBBI dan pendapat IL. Bagi saya, KBBI dan IL adalah bagian penting dalam pembelajaran dan pelatihan saya.

Pertanyaan susulan tadi, "Melihat pertanyaan di atas, manakah yang Anda jadikan rujukan untuk belajar bahasa Indonesia yang baik dan tepat?", mendadak menyuguhkan kejanggalan dalam pemikiran saya, yang sudah saya singgung tadi. Ada polemik apakah sesungguhnya sehingga menjadi pro-kontra di Kompasiana ini?

Nah, kalau sudah "polemik" yang "pro-kontra" semacam itu, terus terang, saya tidak mau berpihak. Ya, bagi saya, hal itu "janggal" alias aneh. Saya tidak tertarik menjadikan kejanggalan sebagai pengganjalan, apalagi penjagalan, terhadap proses saya belajar berbahasa Indonesia melalui tulisan. Cukup saja saya jadikan bagian proses berlatih tulis-menulis, ya, seperti artikel sederhana ini.

Sekian komentar saya, dan terima kasih atas godaannya.

*******  

Panggung Renung -- Balikpapan, 18 April 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun