"Ini bukan akhir," lanjut Musamus. "Ini awal. Tapi aku tak tahu harus berkata apa lagi. Semua ini terlalu indah... terlalu besar untuk kata-kata."
Ibu Ratu mengangguk. "Biarkan matamu yang bicara. Kadang, air mata adalah bahasa paling jujur yang bisa dikeluarkan jiwa."
Dan Musamus menangis. Di tengah kampung yang mulai pulih, di antara suara belibis yang mulai mencari pasangan, dan nyanyian dasar rawa yang bergema pelan di balik akar-akar kayu bus, seekor semut menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena tanah yang dicintainya telah memilih hidup kembali. Karena semuanya tidak sia-sia.
Karena ia kecil, tapi jiwanya sudah cukup besar untuk menampung seluruh rasa syukur dari hutan, rawa, langit, dan air.
Hari itu, kampung tidak ramai dengan pesta. Tidak ada sorak, tidak ada perayaan. Tapi langit memutih lembut, dan burung-burung menari. Dan aroma tanah yang baru, basah, jujur, menyelimuti tubuh kecil Musamus yang akhirnya bisa berkata kepada bumi: "Terima kasih... sudah memilih hidup."
Bersambung
Merauke, 26 September 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI