Bahasa dan sastra ibarat napas yang mengalir dari rongga terdalam jiwa manusia. Setiap kata yang terucap atau tertulis membawa denyut kehidupan, menyimpan rahasia rasa, menyalakan cahaya makna. Dalam napas itu, kata-kata tak hanya sekadar rangkaian huruf, melainkan ruh yang lahir dari pergulatan batin. Bur Rasuanto (1937-2019), seorang penulis dan esais Indonesia yang dikenal dengan pemikiran reflektifnya tentang seni, kemanusiaan, dan integritas, pernah berkata, "Seorang negarawan besar, jujur terhadap masyarakat. Seorang sastrawan besar, jujur terhadap dirinya sendiri." Kutipan ini adalah ajakan untuk melihat sastra bukan sekadar seni menganyam kata, melainkan keberanian membuka diri apa adanya. Sebab, hanya dengan kejujuran kepada diri sendiri, sebuah karya akan berdiri tegak: hidup, bernapas, dan menyentuh hati yang membacanya.
Bahasa sebagai Cermin Jiwa
Bahasa lahir dari kedalaman batin, dari ruang sunyi tempat rasa dan pikir saling berbisik. Kata-kata yang jujur adalah pantulan jiwa yang tak mengenakan topeng; ia mengalir apa adanya, tanpa terseret arus kepalsuan. Sastrawan yang jujur terhadap dirinya sendiri menulis bukan demi tepuk tangan atau sanjungan, melainkan untuk menyuarakan kebenaran batin yang mungkin tak selalu nyaman didengar. Seperti yang diungkapkan Sapardi Djoko Damono dalam Sastra Indonesia Modern (1984), sastra sejati lahir dari kejujuran pengalaman dan kepekaan pengarang dalam menangkap realitas, baik yang tampak di luar maupun yang tersembunyi di dalam.
Kejujuran ini menuntut keberanian: keberanian untuk menulis luka tanpa menutupinya, untuk mengakui kebahagiaan tanpa pura-pura merendah, dan untuk mengungkap keresahan meski berisiko disalahpahami. Dalam cermin bahasa, jiwa akan terlihat sebagaimana adanya, dengan retak-retak dan cahaya yang saling berpelukan. Dan di sanalah, keindahan sejati sastra menemukan rumahnya.
Kejujuran dalam bahasa juga menjadi jembatan yang menghubungkan penulis dan pembaca pada tingkat yang paling manusiawi. Ketika kata-kata memantulkan isi hati tanpa polesan berlebihan, pembaca dapat merasakan getar yang sama, seolah mereka sedang berbagi ruang batin dengan sang pengarang. Hal ini sejalan dengan pandangan Budi Darma dalam Harmoni dalam Budaya (2002) bahwa kekuatan sastra terletak pada kemampuannya menciptakan "kedekatan emosional" yang melampaui batas waktu, tempat, dan latar budaya. Di titik inilah, bahasa menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi; ia menjelma sebagai pengakuan yang menghidupkan empati.
Sastra sebagai Ruang Pengakuan
Sastra adalah altar tempat manusia berani mengaku, bukan hanya tentang kemegahan kemenangannya, tetapi juga tentang rapuhnya kekalahan yang pernah dialami. Di dalamnya, pengarang menanggalkan segala perisai dan tampil seutuhnya, dengan luka, tawa, dan doa yang ia bawa. Kejujuran dalam sastra melahirkan karya yang hidup, sebab ia membawa rasa yang tak dapat dipalsukan. Damono dalam Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (2004) menegaskan bahwa kekuatan karya sastra terletak pada kemampuannya menyampaikan pengalaman batin yang autentik, bukan sekadar meniru bentuk atau gaya.
Ketika sastrawan menulis dari ruang pengakuan ini, ia seakan berbicara langsung kepada hati pembaca, melewati pagar logika dan tembok prasangka. Kata-kata yang lahir dari kejujuran menjadi jembatan antara jiwa pengarang dan jiwa pembaca. Di sanalah sastra menemukan perannya yang paling manusiawi: menjadi saksi atas segala yang ingin diungkapkan, tetapi sering tak berani diucapkan di hadapan dunia.
Pengakuan dalam sastra juga memberi ruang penyembuhan, baik bagi penulis maupun pembaca. Ketika luka, kerinduan, atau kebahagiaan diungkapkan dengan tulus, proses menulis menjadi semacam katarsis yang membebaskan beban batin. Bagi pembaca, kejujuran itu bisa menjadi cermin yang meneguhkan bahwa mereka tidak sendirian menghadapi pergulatan hidup. Seperti diungkapkan Kristeva dalam The Ethics of Literature (1997), karya sastra yang lahir dari kejujuran emosional mampu mengubah rasa asing menjadi rasa memiliki, menjadikan setiap pengakuan bukan sekadar cerita, tetapi juga pelukan yang tak terlihat.
Keberanian Menghadapi Bayang-Bayang
Menulis dengan jujur adalah langkah menyalakan lampu di ruang-ruang gelap batin, membuka luka, menuturkan kegelisahan, bahkan yang paling sunyi dan sulit diakui. Setiap kata menjadi keberanian kecil untuk berdiri di hadapan bayang-bayang sendiri. Bur Rasuanto memberi teladan bahwa karya yang lahir dari kejujuran diri akan tetap hidup, melampaui waktu dan tren. Sebagaimana diungkapkan Wellek & Warren dalam Theory of Literature (1956), sastra yang autentik adalah refleksi mendalam dari pengalaman manusia, yang kekuatannya justru terletak pada ketulusannya.