Beberapa waktu terakhir ini, ruang publik Indonesia kembali diramaikan oleh polemik dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo, yang alih-alih dibahas secara akademik dan hukum, justru ramai di media sosial lewat spekulasi dan debat emosional. Diskusi pun melenceng dari data dan argumen, berubah menjadi serangan terhadap latar belakang pribadi, gaya hidup, dan asal-usul keluarga, suatu bentuk sesat pikir yang dikenal sebagai ad hominem. Tulisan ini berpijak pada keyakinan bahwa ad hominem bukan sekadar kekeliruan logika, tetapi ancaman nyata bagi nalar publik, etika kebangsaan, dan ruang demokrasi yang sehat, karena ketika kebenaran digantikan oleh serangan pribadi, maka kita tak lagi mencari kebenaran, melainkan musuh imajiner.
Ad Hominem: Sebuah Tinjauan Logis
Dalam kerangka logika formal, ad hominem merujuk pada jenis sesat pikir (logical fallacy) di mana seseorang tidak menyerang argumen lawannya, tetapi justru menyerang pribadi atau karakter orang yang menyampaikan argumen tersebut. Alih-alih menanggapi isi pemikiran secara rasional, ia mengalihkan fokus pada aspek personal yang tidak relevan dengan pokok bahasan. Dalam Logica Nova, Aristoteles sudah mengingatkan bahwa penalaran yang sehat menuntut kohesi antara premis dan konklusi, bukan pergeseran ke serangan luar-substansi.
Ada beberapa bentuk utama dari ad hominem. Misalnya, (i) Abusive ad hominem, yakni menyerang karakter atau kepribadian lawan debat. Contoh: "Ia orang yang malas dan tidak berpendidikan, jadi tak layak dipercaya." (ii) Circumstantial ad hominem: menyerang latar belakang, status, atau kepentingan pribadi yang dianggap memengaruhi pendapat. Contoh: "Tentu saja dia membela itu, karena dia bagian dari sistem." (iii) Tu quoque: menuduh lawan bersikap munafik atau tidak konsisten. Contoh: "Kamu bicara soal kejujuran, padahal dulu kamu sendiri juga pernah menipu."
Dalam polemik publik saat ini, kita melihat ad hominem mengambil bentuk yang semakin kasat mata. Pernyataan seperti, "Bagaimana bisa percaya pada ijazah orang yang tidak pantas jadi presiden?" adalah contoh yang khas: alih-alih membuktikan ketidakabsahan ijazah secara akademik atau hukum, argumen justru digiring ke arah penilaian moral dan subjektif atas sosok yang bersangkutan. Ini tidak menjawab pertanyaan pokok, apakah ijazah itu valid, melainkan hanya menyulut emosi dan menurunkan derajat diskusi.
Secara logis, ad hominem adalah sesat pikir karena ia gagal menguji premis secara sahih. Ia bukan sekadar keliru dalam bentuk, tetapi juga dalam esensi: ia tidak membantah kebenaran klaim, melainkan menghancurkan kredibilitas pengklaim. Dalam epistemologi, kebenaran tidak ditentukan oleh siapa yang mengatakannya, tetapi oleh seberapa kuat dan relevan dasar-dasarnya. Filsuf Bertrand Russell (The Problem of Philosophy, 1912) pernah menekankan bahwa "sains (dan kebenaran) tidak bergantung pada kepribadian, melainkan pada argumen yang dapat diuji dan dibuktikan."
Membiarkan ad hominem menjadi kebiasaan dalam perdebatan publik hanya akan menyuburkan budaya diskusi yang prematur, emosional, dan anti-intelektual. Alih-alih memurnikan nalar, kita justru sedang merayakan pembusukan akal sehat secara kolektif. Jika kita masih percaya pada demokrasi berbasis akal, maka kita perlu kembali pada dasar logika yang benar: menyerang ide, bukan pribadi.
Dampak Etis dari Ad Hominem
Ad hominem tidak hanya merupakan kesalahan logika, tetapi juga pelanggaran serius terhadap etika diskusi. Di balik logika yang rusak tersembunyi niat yang tak kalah bermasalah: mengganti pencarian kebenaran dengan pelampiasan dendam atau kebencian. Ketika seseorang memilih menyerang pribadi alih-alih membantah argumen, maka diskusi bukan lagi soal apa yang benar, melainkan siapa yang dibenci. Ini mencederai prinsip dasar etika komunikasi: menjunjung penghormatan terhadap sesama sebagai subjek yang berpikir.
Dalam tradisi etika diskursus, Jrgen Habermas menekankan pentingnya "komunikasi bebas dari dominasi," yaitu dialog yang mengandalkan rasionalitas, kesetaraan, dan saling pengertian (The Theory of Communicative Action, 1984). Serangan pribadi mengingkari semangat ini. Ia mengandung unsur kekerasan simbolik yang tidak tampak secara fisik, tetapi melukai martabat manusia sebagai makhluk berpikir. Kita kehilangan kehormatan sebagai penalar yang jujur ketika lebih memilih menjatuhkan orang ketimbang menguji gagasannya.
Lebih jauh, dampak sosial dari ad hominem sangat mengkhawatirkan. Ia menciptakan atmosfer publik yang penuh kecurigaan, mempercepat pembusukan reputasi melalui tuduhan tak berdasar, dan merusak kepercayaan terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya kita jaga Bersama, entah itu universitas, KPU, atau institusi negara lainnya. Sekali reputasi itu hancur oleh opini liar, sangat sulit memperbaikinya, bahkan ketika kebenaran akhirnya terungkap. Sebagaimana diingatkan oleh Emmanuel Levinas, etika bermula dari tanggung jawab terhadap wajah yang lain, yaitu mengakui kehadiran orang lain sebagai pribadi, bukan sekadar objek untuk dijatuhkan (Totality and Infinity, 1961/1969).