Dalam dunia yang dibanjiri narasi dan noise, ad hominem bukan sekadar kesalahan berpikir, ia adalah racun etis yang menodai martabat dan membusukkan kepercayaan sosial. Kita membutuhkan keberanian moral untuk menolak serangan personal, bukan hanya demi menjaga nalar, tetapi demi merawat kemanusiaan.
Ad Hominem dan Ancaman terhadap Kebenaran
Dalam filsafat, kebenaran (truth) bukan sekadar soal keyakinan pribadi, tetapi hasil dari proses pencarian yang jujur, terbuka, dan rasional. Pencarian itu menuntut tiga hal utama: keterbukaan untuk dikritik, kemampuan berargumen secara logis, dan sikap objektif terhadap data dan bukti. Tanpa ketiganya, diskusi kehilangan arah dan berubah menjadi arena pembenaran diri. Seperti ditegaskan oleh Bernard Lonergan, "kejujuran intelektual terletak pada kesiapan seseorang untuk membiarkan pikirannya dibentuk oleh bukti" (Insight: A Study of Human Understanding, 1957/1992).
Namun ad hominem merusak seluruh fondasi itu. Ia menutup pintu bagi pencarian kebenaran karena menggantikan fakta dengan emosi, dan mengganti argumen dengan prasangka. Dalam konteks seperti ini, seseorang tidak lagi diposisikan sebagai pencari kebenaran, tetapi sebagai lawan yang harus dijatuhkan. Fakta tak lagi dibahas; yang diburu hanyalah kelemahan pribadi. Maka, diskusi menjadi permainan kuasa, bukan upaya kolektif untuk mendekati kebenaran.
Dalam sejarah filsafat, para pemikir besar telah meletakkan dasar-dasar dialog yang sehat. Plato, melalui konsep dialektika, menekankan pentingnya percakapan yang terbuka sebagai jalan menuju episteme, pengetahuan yang benar. Habermas mendorong gagasan ruang publik rasional di mana argumen dapat diuji tanpa dominasi dan distorsi komunikasi (The Structural Transformation of the Public Sphere, 1962/1989). Sementara Karl Popper dalam The Logic of Scientific Discovery (1959/2002) menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah hanya mungkin bertumbuh jika teori berani diuji, dikritik, dan dibantah, bukan dijaga lewat serangan personal terhadap pengkritiknya.
Dari ketiganya kita belajar bahwa tanpa ruang untuk berargumen secara jernih dan saling menghormati, kebenaran akan tersingkir oleh ego. Maka, ad hominem bukan hanya salah arah berpikir, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai terdalam dari filsafat itu sendiri: hasrat untuk menemukan kebenaran bersama.
Membangun Etika Dialog dan Logika Sehat
Di tengah derasnya arus opini dan perdebatan publik, kita perlu kembali pada prinsip dasar berpikir kritis: memisahkan antara orang dan ide. Kritik terhadap sebuah gagasan tidak serta-merta berarti permusuhan terhadap orang yang menyampaikannya. Sebaliknya, membantah argumen tanpa menyerang pribadi adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap martabat manusia dan kebebasan berpikir. Dalam Critical Thinking (2006), Paul dan Elder mengingatkan bahwa inti dari berpikir kritis adalah "berpikir dengan kesadaran akan asumsi, logika, dan implikasi dari pandangan kita sendiri dan orang lain."
Kita pun harus menumbuhkan integritas intelektual dalam kehidupan berdemokrasi. Dalam masyarakat yang sehat, perbedaan pandangan adalah kekayaan, bukan ancaman. Tidak semua kritik adalah serangan, dan tidak semua ketidaksepakatan adalah bentuk kebencian. Hannah Arendt, dalam Between Past and Future (1961), menekankan pentingnya ruang publik tempat manusia bebas berpikir, berbicara, dan bertindak tanpa rasa takut. Demokrasi sejati tidak tumbuh dari keseragaman, tetapi dari kesanggupan kita berdialog secara setara dan jujur, sekalipun dalam perbedaan tajam.
Untuk itu, literasi logika dan etika publik perlu ditanamkan sejak dini. Sekolah bukan hanya tempat belajar rumus dan teori, tetapi juga arena menumbuhkan kebiasaan berpikir sehat, jujur, dan hormat pada lawan diskusi. Media massa dan media sosial pun perlu memainkan peran edukatif, bukan hanya menggiring opini tetapi juga mendidik publik tentang cara berdiskusi yang etis. Menurut Martha Nussbaum dalam Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (2010), pendidikan kritis dan humanistik adalah fondasi utama bagi masyarakat demokratis yang adil dan manusiawi.
Dengan membangun kembali budaya berpikir yang logis dan etis, kita bukan hanya menjaga mutu diskusi publik, tetapi juga merawat peradaban. Sebab tanpa logika yang sehat dan etika yang luhur, kata-kata akan kehilangan maknanya, dan kebenaran akan mudah ditukar dengan kebisingan.