Hujan yang Tak Ramah
Langit akhirnya pecah. Bukan dengan denting lembut atau nyanyian gerimis seperti biasanya, tetapi dengan raungan berat yang datang dari dalam dada awan. Hujan turun, tak seperti berkah, tapi lebih seperti peringatan yang ditumpahkan dari altar langit yang sedang murka.
Air jatuh tidak dalam tetes, tapi dalam hantaman. Daun-daun sagu tak sempat menadah, langsung menunduk. Atap-atap rumah kayu di Kampung Semut Wasur mendesah, beberapa mulai bocor, beberapa menggigil. Air menggenangi tanah yang sudah rapuh sejak minggu lalu. Lumpur mengembun di tiap celah jalan, menyatu dengan akar, menyelimuti jejak, menyembunyikan arah.
Musamus berdiri di pinggir rumah, hujan menampar wajahnya tanpa ampun. Wajahnya basah, bukan hanya oleh air langit, tapi oleh kenangan tahun-tahun sebelumnya, saat hujan seperti ini tak sekadar membasahi, tapi menenggelamkan.
"Musamus!" teriak Pak Tama dari arah rumahnya yang sedikit lebih tinggi. Suaranya nyaris tertelan hujan. "Ini bukan hujan biasa. Lihat! Jalan menuju kebun sudah jadi sungai!"
Musamus berlari kecil ke arahnya. Kain penutup kepalanya sudah tak mampu menghalau air. Ia berhenti di bawah pelindung atap Pak Tama.
"Aku sudah lihat. Air datang dari dua arah, dari utara dan selatan. Rawa tak lagi menampung. Dia lepaskan semuanya malam ini."
Pak Tama mengangguk, wajahnya pucat. "Ini bukan pertama kali hujan seperti ini datang. Tapi rasanya, setiap kali ia datang, kita lupa caranya bertahan."
Musamus menghela napas berat. "Karena kita selalu ingin percaya bahwa langit bisa bersahabat. Tapi tidak malam ini."
Sementara itu, di dapur Mama Tiri, suara kayu terbakar tak lagi terdengar. Api padam oleh angin lembab yang menyelinap dari celah-celah dinding. Ia duduk di kursi kecil yang dibungkus tikar pandan, menatap air yang merembes masuk pelan-pelan seperti bayangan tua yang kembali dari masa lalu.