Angin keberagaman yang dulu berhembus lembut di negeri ini kini terasa sesak, tertahan oleh tembok-tembok curiga yang dibangun dari tafsir kaku dan pandangan yang tertutup. Riuh intoleransi terdengar di berbagai sudut tanah air, dari masjid yang dirusak karena beda aliran, gereja yang dibakar karena dianggap tak berizin, pembubaran ibadah dengan dalih tak berizin, hingga rumah ibadah yang ditolak karena minoritas dianggap mengganggu mayoritas; semua ini bukan sekadar gejala, tetapi isyarat akan bara dalam yang belum dijamah: cara sebagian kita memahami iman secara eksklusif, menafikan bahwa cahaya kebenaran bisa hadir dalam banyak rupa. Maka, tulisan ini mengajak menyusuri lorong-lorong batin di balik tembok dogma, demi membuka ruang dialog lintas iman, merawat keberagamaan yang rendah hati, dan menyalakan kembali pelita inklusivitas di negeri yang mengaku menjunjung Pancasila.
Tembok Dogma dan Klaim Kebenaran Mutlak
Dogma adalah tembok keyakinan yang dibangun dari bata-bata kepastian. Dalam konteks agama, ia kerap dimaknai sebagai kebenaran yang tak boleh dipertanyakan, kaku seperti batu, dan suci seperti wahyu. Kebenaran mutlak, sebagaimana dibahas oleh John Hick dalam God Has Many Names (1982), merujuk pada keyakinan bahwa hanya satu jalan yang benar menuju Tuhan, sementara yang lain dianggap sesat, menyimpang, atau tidak bernilai.
Ketika ajaran agama ditafsir secara sempit dan eksklusif, makna spiritual berubah menjadi senjata ideologis. Ayat-ayat suci yang mestinya meneduhkan jiwa malah menjadi palu yang memukul mereka yang berbeda. Agama kehilangan daya peluknya, ia tidak lagi mengajak manusia bertumbuh dalam cinta, melainkan dalam rasa takut dan kebencian terhadap yang lain.
Klaim bahwa hanya satu iman yang benar tak sekadar soal teologi, ia menjadi mesin yang membelah ruang sosial. Di sinilah akar intoleransi tumbuh: ketika iman dijadikan benteng, bukan jembatan. Ketika perbedaan bukan lagi anugerah, melainkan ancaman. Ketika orang lebih sibuk membela Tuhan, daripada menghadirkan kasih-Nya dalam tindakan.
Menurut Nurcholish Madjid dalam Islam, Doktrin dan Peradaban (2000), "Kebenaran adalah milik Tuhan sepenuhnya. Tugas manusia adalah mencari, bukan memonopoli." Namun, di tengah masyarakat yang makin religius secara simbolik, dogma sering dimaknai sebagai hak istimewa untuk menghakimi, bukan sebagai ajakan untuk berdialog.
Dengan kata lain, tembok dogma yang tinggi dan tebal itu bukan hanya memisahkan umat satu dengan yang lain, tapi juga memenjara nurani dan akal sehat yang semestinya menjadi cahaya di jalan iman.
Akar Intoleransi: Tafsir Tertutup dan Pendidikan yang Tidak Kritis
Akar intoleransi sering tumbuh diam-diam dalam ruang tafsir yang tertutup. Ajaran-ajaran suci yang sejatinya kaya makna dikerdilkan menjadi formula hitam-putih. Jalan dialog ditutup rapat, digantikan oleh tuntutan untuk patuh tanpa tanya. Dalam kondisi ini, sebagaimana diungkapkan Bassam Tibi dalam The Challenge of Fundamentalism (1998), agama berubah menjadi ideologi eksklusif, bukan spiritualitas yang membebaskan.
Cara memahami ajaran secara sempit sering diturunkan dari generasi ke generasi, diwariskan tanpa ruang permenungan. Ayat-ayat dibaca bukan dengan hati yang mencari, melainkan dengan hasrat untuk menghakimi. Kebenaran tidak lagi dicari bersama, tetapi ditunjuk dengan telunjuk yang mengintimidasi.
Di sisi lain, sistem pendidikan kita gagal menanamkan daya kritis dan penghargaan terhadap keberagaman sejak dini. Kurikulum agama lebih menekankan hafalan doktrin daripada pembentukan sikap terbuka dan empatik. Anak-anak tumbuh dengan pandangan tunggal tentang dunia, tanpa dikenalkan pada mosaik budaya dan iman yang menghuni tanah air ini. Seperti yang digarisbawahi oleh Komnas HAM dalam Laporan Tahunan 2021, intoleransi di kalangan pelajar meningkat seiring minimnya pendidikan multikultural di sekolah.