Dalam konteks ini, 'dosen berperan lebih dari sekadar pengawas naskah.' Mereka adalah pembimbing yang membantu mahasiswa memahami cara menulis dengan benar, menjelaskan perbedaan antara kemiripan dan plagiarisme, serta membangun rasa tanggung jawab dalam berkarya ilmiah. Dosen yang mendampingi dengan pendekatan edukatif akan melahirkan mahasiswa yang tidak hanya takut melanggar, tetapi 'menghargai proses menulis sebagai bagian dari pertumbuhan intelektual.' Dengan demikian, membangun literasi akademik bukan sekadar urusan teknis, melainkan investasi moral dan intelektual yang sangat menentukan kualitas pendidikan tinggi kita.
Pada akhirnya, penting untuk dipahami bahwa kemiripan yang terdeteksi oleh Turnitin hanyalah 'indikator teknis,' bukan penentu mutlak adanya plagiarisme, karena angka kemiripan bisa muncul dari kutipan langsung, daftar pustaka, atau frasa umum. Sementara itu, plagiarisme adalah 'pelanggaran etika' ketika seseorang mengklaim gagasan atau karya orang lain tanpa memberi pengakuan yang semestinya. Oleh karena itu, bijaklah menggunakan Turnitin: bukan sebagai hakim, melainkan sebagai alat bantu yang membutuhkan penilaian kontekstual dan adil dari dosen atau editor. Solusi terbaik adalah menggabungkan teknologi dengan kebijaksanaan akademik: menggunakan Turnitin sebagai pendukung, sambil mengutamakan edukasi, pendampingan, dan penilaian yang berbasis etika agar dapat membentuk insan akademik yang jujur, terampil, dan bertanggung jawab. (*)
Merauke, 27 Mei 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI