Sebagai contoh, jika seorang mahasiswa menulis kajian pustaka dengan kutipan langsung dan menyertakan semua referensinya secara benar sesuai gaya APA (American Psychological Association), skor Turnitin bisa saja mencapai 35%, tetapi karya tersebut tetap tidak tergolong plagiat. Sebaliknya, jika mahasiswa menyusun ulang kalimat orang lain tanpa menyebutkan sumber, meskipun skor Turnitin rendah, tetap termasuk plagiarisme.
Dengan demikian, memahami perbedaan antara kemiripan dan plagiarisme sangat penting dalam membangun budaya akademik yang adil, jujur, dan bertanggung jawab, serta mencegah kesalahan penilaian yang merugikan mahasiswa maupun institusi.
Implikasi Kesalahpahaman
Kesalahpahaman dalam memaknai skor kemiripan dari Turnitin---yakni menganggapnya sebagai penentu plagiarisme---tidak hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga berdampak nyata pada ekosistem akademik, baik bagi mahasiswa, dosen, maupun institusi. Bagi mahasiswa, persepsi keliru bahwa skor kemiripan tinggi berarti otomatis plagiat sering menimbulkan stres dan ketakutan berlebihan. Banyak yang merasa malu, tidak percaya diri, atau takut tidak bisa maju ujian, padahal kemiripan tersebut sering kali berasal dari kutipan sah atau daftar pustaka. Penny Beale, dalam laporan Student Plagiarism in Higher Education (2011), menjelaskan bahwa tekanan berlebihan terhadap angka kemiripan justru mengganggu proses belajar dan menumbuhkan ketakutan, bukan kesadaran etika.
Dampak serupa dirasakan oleh dosen dan peneliti. Tak jarang naskah ditolak hanya karena skor Turnitin tinggi, padahal seluruh kemiripan berasal dari kutipan yang benar atau metodologi standar. Hal ini dapat merugikan reputasi dan motivasi penulis, serta menghambat publikasi yang sebenarnya layak. Park, dalam artikel Rebels Without a Clause: Towards an Institutional Framework for Dealing with Plagiarism by Students (2004), menekankan bahwa pendekatan mekanis tanpa konteks justru mengaburkan nilai pendidikan itu sendiri.
Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika Turnitin dijadikan "hakim mutlak," seolah-olah seluruh penilaian etika diserahkan pada algoritma. Padahal, menurut Guidelines for Best Practice in the Use of Turnitin UK (JISC, 2010), Turnitin hanyalah alat bantu, bukan pengganti pertimbangan akademik. Ketergantungan tanpa interpretasi manusia berpotensi merusak prinsip keadilan akademik dan mengabaikan aspek edukatif dalam menangani plagiarisme.
Oleh karena itu, semua pihak---mahasiswa, dosen, maupun pengelola perguruan tinggi---perlu memahami hasil Turnitin dalam konteksnya, bukan sebagai vonis akhir. Edukasi dan pendampingan harus menjadi fokus utama dalam membangun integritas akademik yang sehat dan adil.
Perlunya Literasi Akademik
Kesalahpahaman terhadap skor Turnitin dan ketidaktahuan membedakan antara kemiripan dan plagiarisme menunjukkan bahwa yang kita butuhkan bukan sekadar alat deteksi, melainkan 'literasi akademik' yang kuat. Literasi ini mencakup pemahaman tentang 'cara menyitir sumber dengan benar, kemampuan memparafrasekan gagasan orang lain, dan kesadaran etika dalam menulis ilmiah.'
Mahasiswa, terutama di jenjang awal pendidikan tinggi, sering belum dibekali dengan pengetahuan teknis maupun nilai-nilai etis seputar penulisan akademik. Karena itu, perlu ada 'pembinaan sistematis' tentang teknik sitasi (APA, MLA, Chicago, dll.), cara menulis ulang tanpa kehilangan makna, serta perbedaan antara pengaruh wajar dan penjiplakan. Swales & Feak, dalam Academic Writing for Graduate Students (2012), menjelaskan bahwa pemahaman terhadap konvensi penulisan akademik tidak lahir begitu saja, melainkan perlu 'dibimbing secara bertahap dan kontekstual.'
Di sisi lain, 'peran institusi pendidikan' sangat penting. Perguruan tinggi seharusnya tidak hanya fokus pada mengejar skor Turnitin rendah, tetapi juga menjadi ruang belajar untuk membentuk karakter akademik yang jujur. Edukasi mengenai integritas akademik sebaiknya menjadi bagian dari kurikulum, pelatihan penulisan ilmiah, dan bimbingan skripsi atau tesis. Sebagaimana ditekankan oleh Fishman, dalam Integrity in Education (2009), 'pendidikan integritas memerlukan keteladanan dan ruang dialog, bukan sekadar sanksi dan angka-angka teknis.'