Di tengah derasnya arus zaman, upaya menyejahterakan masyarakat melalui gizi yang memadai adalah impian yang tak boleh surut. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah lahir sebagai ikhtiar kolektif untuk memastikan setiap jiwa tak lagi berhadapan dengan perut kosong dan tubuh yang lemah. Tetapi dalam perjalanannya, tantangan ketersediaan bahan pangan bergizi kian nyata. Dari sinilah gagasan serangga sebagai alternatif pangan muncul---jangkrik, belalang, hingga ulat sagu mulai diperbincangkan sebagai sumber protein masa depan. Namun, apakah ini jawaban yang sesungguhnya, ataukah di balik potensinya yang kaya tersimpan tantangan lain, baik dari segi ketersediaan, penerimaan masyarakat, maupun kesiapan infrastruktur? Seperti matahari yang membawa cahaya harapan, ide ini menawarkan kemungkinan baru, tetapi awan-awan pertanyaan masih membayang di cakrawala, menanti untuk diurai dengan bijak.
Peluang: Gizi Tinggi dan Ketersediaan Alamiah
Di alam yang luas terbentang, sumber kehidupan tak selalu datang dari tempat yang kita duga. Tersembunyi di balik dedaunan, bersembunyi di balik reranting, serangga hidup dalam ritme yang tak selalu kita perhatikan. Namun, siapa sangka, dalam tubuh kecil mereka, tersimpan kekayaan gizi yang begitu luar biasa---protein yang melimpah, lemak sehat yang menghangatkan, serta nutrisi penting yang tak kalah dengan sumber pangan lain yang selama ini kita agungkan.
Bukan hal baru, bukan sekadar tren. Di berbagai penjuru dunia, serangga telah lama menjadi bagian dari meja makan. Di pedalaman Papua, ulat sagu menjadi santapan bernutrisi tinggi. Di Gunung Kidul, belalang goreng renyah menemani percakapan di senja hari. Nun jauh di kampung halaman, belalang menjadi bagian dari acara minum tuak bersama. Bahkan di negeri-negeri jauh, dari Asia hingga Afrika, jangkrik dan serangga lainnya telah lama dikenal sebagai makanan yang menghidupi. Ini bukan sekadar cerita tradisi, tetapi jejak yang membuktikan bahwa alam selalu memberi, asalkan kita tahu cara menerimanya.
Lalu, apakah mungkin serangga menjadi harapan bagi ketahanan pangan? Di tengah lahan pertanian yang semakin sempit, di antara krisis iklim yang mengubah wajah bumi, budidaya serangga muncul sebagai solusi yang ramah dan berkelanjutan. Mereka tidak membutuhkan lahan luas, tidak menyedot air sebanyak ternak besar, dan tumbuh dengan cepat, menawarkan sumber protein yang efisien. Jika kita bersedia membuka hati dan pikiran, bukan tidak mungkin bahwa makhluk kecil ini dapat menjadi bagian dari jawaban atas kebutuhan gizi masyarakat.
Namun, seberapa siap kita untuk menerima? Akankah langkah ini menjadi lompatan menuju masa depan yang lebih lestari, atau justru berakhir sebagai wacana yang berlalu bersama angin? Alam telah berbicara, memberi kita pilihan. Kini, tinggal bagaimana kita mendengarkan.
Kendala: Dari Ketersediaan hingga Penerimaan Masyarakat
Tak semua yang bergizi mudah diraih, dan tak semua yang menjanjikan dapat segera diwujudkan. Di atas kertas, serangga mungkin tampak sebagai solusi: kaya protein, ramah lingkungan, dan telah lama menjadi bagian dari tradisi kuliner di beberapa penjuru negeri. Namun, kenyataan di lapangan tak selalu seindah harapan.
Belalang menari di ladang hanya saat musimnya tiba. Jangkrik bernyanyi di balik gelap, tetapi tak selalu dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi ribuan piring yang menanti. Ulat sagu hidup dalam batang-batang pohon yang tak setiap hari bisa ditebang. Lantas, jika alam memberi dengan irama yang tak selalu bisa kita kendalikan, bagaimana kita bisa memastikan ketersediaannya bagi anak sekolah yang menggantungkan harapan pada sepiring makan bergizi gratis?
Budidaya memang terdengar sebagai jawaban, tetapi jalannya masih panjang. Infrastruktur belum sepenuhnya siap, teknologi masih terus diuji, dan tak semua tangan terbiasa merawat makhluk kecil ini sebagai sumber pangan masa depan. Di tengah keterbatasan lahan dan anggaran, mampukah kita menjadikan budidaya serangga sebagai pilar ketahanan pangan yang kokoh?
Dan lebih dari sekadar soal ketersediaan, ada perkara lain yang lebih halus---penerimaan masyarakat. Mungkin bagi sebagian orang, belalang goreng adalah camilan nikmat, tetapi bagi yang lain, gagasan menyantap serangga masih sulit diterima. Anak-anak yang tumbuh di era digital, dengan pilihan makanan yang semakin beragam, apakah mereka akan menyambut atau justru menolak dengan raut jijik?