Terakhir, ada pertanyaan yang tak bisa diabaikan: sejauh mana pemerintah mampu menjaga kelangsungan program ini? Dana bukanlah sumber yang tak terbatas, dan logistik mendistribusikan makanan berbasis serangga ke berbagai pelosok bukan pekerjaan mudah. Jika bahan baku tak selalu tersedia, jika anggaran tak selalu mencukupi, adakah jaminan bahwa ini bukan sekadar rencana yang berakhir menjadi wacana?
Di antara harapan dan tantangan, kita berdiri di persimpangan. Alam telah memberi kemungkinan, tetapi mampukah kita menjadikannya kenyataan?
Realitas di Lapangan: Antara Gagasan dan Implementasi
Sebuah gagasan, seindah apa pun, tak akan berarti jika tak mampu mengakar di bumi nyata. Program MBG hadir sebagai oase bagi mereka yang membutuhkan, menjanjikan asupan yang cukup dan berkualitas bagi setiap anak bangsa. Namun, apakah setiap rencana yang tersusun rapi di meja pertemuan dapat diterjemahkan dengan mudah di dapur-dapur kehidupan?
Menjadikan serangga sebagai alternatif sumber pangan adalah langkah berani dan tergolong aneh. Namun, keberanian tanpa perencanaan hanya akan berujung pada kebingungan. Jika sekadar menjadi wacana, ia akan hilang bersama angin yang bertiup. Maka, perlu ada peta jalan yang jelas: dari bagaimana serangga dibudidayakan, bagaimana ia diproses menjadi hidangan yang layak, hingga bagaimana ia bisa diterima tanpa ragu di meja makan anak sekolah.
Di belahan dunia lain, gagasan ini bukan sekadar impian. Beberapa negara telah melangkah lebih jauh, menjadikan serangga sebagai bagian dari solusi pangan berkelanjutan. Thailand dengan peternakan jangkriknya, Belanda dengan teknologi pengolahan serangganya, bahkan beberapa negara di Afrika yang menjadikan ulat sebagai sumber protein andalan. Mereka telah membuktikan bahwa dengan strategi yang matang, alam dapat diberdayakan tanpa mengusik keseimbangannya.
Namun, belajar dari mereka saja belum cukup. Masyarakat kita memiliki budaya dan pola pikirnya sendiri. Makanan bukan sekadar soal gizi, tetapi juga soal kebiasaan dan selera. Maka, pendekatan edukatif menjadi kunci. Bukan dengan memaksa, melainakan dengan mengenalkan. Bukan dengan mencela kebiasaan lama, melainkan dengan membuka cakrawala baru. Jika sejak dini anak-anak mengenal serangga bukan sebagai sesuatu yang asing, melainkan sebagai bagian dari pilihan yang sehat dan alami, mungkin suatu saat nanti, hidangan ini tak lagi dipandang dengan keraguan.
Jalan menuju perubahan memang tak pernah mudah. Tetapi jika ada kesungguhan, langkah kecil yang diambil hari ini bisa menjadi jejak panjang bagi generasi mendatang. Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah ini mungkin, melainkan apakah kita siap melangkah lebih jauh dari sekadar gagasan?
Kesimpulan
Serangga, makhluk kecil yang dulu lebih sering dihindari, kini berbisik lembut di telinga peradaban: "Kami ada, kaya gizi, dan siap menjadi bagian dari solusi." Dalam helaian sayapnya tersimpan protein berlimpah, dalam geraknya yang lincah tersirat ketahanan, dan dalam keberadaannya yang melimpah, tersimpan janji akan masa depan yang lebih mandiri. Namun, jalan menuju penerimaan tidaklah sesederhana memahami kandungan gizinya, melainkan juga bagaimana ia dikelola, didistribusikan, dan diperkenalkan dengan bijak, karena makanan bukan hanya urusan perut, tetapi juga kebiasaan, selera, dan budaya. Maka, pertanyaannya bukan lagi tentang mampukah serangga menjadi solusi, melainkan sudahkah kita siap melihatnya bukan sebagai makanan darurat, tetapi sebagai inovasi pangan masa depan? Sebab, ketahanan pangan bukan sekadar apa yang tersedia di alam, melainkan juga kesiapan hati dan pikiran untuk melihat dengan perspektif baru. Dunia terus berubah, dan mungkin saatnya kita tidak hanya menyesuaikan diri, tetapi juga berani melangkah lebih jauh. Jika masa depan adalah ladang yang siap ditanami, bukankah kita yang menentukan benih apa yang akan tumbuh di dalamnya?
Merauke, 6 Februari 2025