Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Merauke. Selain buku nonfiksi, menulis narasi, cerpen, yang termuat di Zahir Publishing Yogyakarta dan beberapa penerbit lainnya; menulis esai/artikel di media online Surya Papua. Kecuali bidang filsafat, bahasa dan sastra, berminat dalam bidang pendidikan, baik formal maupun nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Single Fighter dalam Keluarga: Tantangan dan Solusi Strategis

4 Mei 2024   05:59 Diperbarui: 4 Mei 2024   14:11 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam dinamika keluarga modern, muncul fenomena yang semakin umum dikenal sebagai single fighter. Istilah ini digunakan untuk orang tua tunggal, baik ayah maupun ibu, yang membesarkan anak-(anak)-nya tanpa bantuan dari pasangan, entah karena kematian ataupun perceraian. Satu anggota keluarga mengemban tanggung jawab yang signifikan tanpa dukungan dari pasangannya.

Meskipun memiliki juga banyak kekuatan positif, single fighter tetap menjadi tantangan dan kesulitan. Dalam artikel "Analisis Kesejahteraan Keluarga Single Fighter di Kota Surakarta", Mujiati & Warastri (2019) menyatakan bahwa sebagai single fighter, orang tua harus menjalankan peran ganda, baik sebagai pencari nafkah maupun pengasuh anak. Hal ini dapat memicu stres dan kelelahan. Dengan demikian, fenomena single fighter selalu menimbulkan persoalan dalam keluarga.

Artikel ini berusaha menggali lebih dalam tentang faktor penyebab, tantangan yang dihadapi, dan solusi untuk mengatasi fenomena ini. Tujuannya untuk memberikan wawasan yang bermanfaat bagaimana mengatasi fenomena single fighter dalam keluarga.

Faktor Penyebab Single Fighter

Single fighter adalah sebuah kenyataan yang terjadi karena salah satu orang tua terpaksa mengasuh anak-(anak)-nya sendiri karena cerai mati, berpisah, tugas yang memisahkan, ataupun alasan lainnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2021), pada tahun 2020, terdapat sekitar 14,7% keluarga di Indonesia yang dikepalai oleh single fighter.

Fenomena single fighter dalam keluarga muncul dari sejumlah faktor, termasuk perubahan dalam struktur keluarga, seperti peningkatan jumlah keluarga kecil dan mobilitas geografis yang memisahkan anggota keluarga. Selain itu, perubahan dalam tuntutan pekerjaan dan sosial yang dapat meningkatkan beban tanggung jawab seseorang dalam keluarga.

Penyebab seseorang menjadi single fighter bisa bermacam-macam. Pertama, kematian pasangan. Hal ini bisa terjadi karena kecelakaan, penyakit, atau sebab lainnya. Kedua, perceraian, yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perselisihan rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, atau ketidakcocokan. Ketiga, ada beberapa orang yang memilih untuk menjadi orang tua tunggal, baik dengan cara inseminasi buatan, adopsi, atau ibu pengganti. Keempat, seseorang bisa menjanda atau menduda jika pasangannya meninggal dan mereka tidak ingin menikah lagi.

Tantangan yang Dihadapi Single Fighter

Seseorang yang menjadi single fighter dalam keluarga bukanlah hal yang mudah. Ia "terpaksa" menghadapi sejumlah tantangan yang signifikan. Berikut, beberapa tantangan yang dihadapi seorang single fighter.

Pertama, beban kerja ganda dan berlebihan, baik dalam hal tugas domestik maupun peran sebagai pengasuh. Hal ini dapat menyebabkan stres, kelelahan, dan merasa terisolasi. Seorang (orang tua) single fighter harus menjalankan peran ganda, baik sebagai pencari nafkah maupun pengasuh anak. Hal ini dapat memicu stres dan kelelahan (Mujiati & Warastri, 2019).

Kedua, kurangnya dukungan emosional dan fisik dari anggota keluarga lainnya dapat menyulitkan pemenuhan kebutuhan dan pencapaian tujuan individu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun