Tatkala anak saya jelang lulus TK B, saya sibuk memilih dan memilah SD. Kiranya SD mana yang cocok untuk si bocah?
Saya kemudian banyak memperoleh informasi dari sana-sini. Yang ternyata mayoritas merekomendasikan sebuah SDN favorit. Saya pun mencari tahu, mengapa SDN tersebut menjadi favorit.
Dari berbagai sumber, akhirnya bisa disimpulkan bahwa penyebab kefavoritan SDN itu adalah tingkat kedisiplinannya dan nilai tes kemampuan akademik para siswanya. Konon pula lulusannya banyak yang diterima SMP-SMP favorit.
Tentu saya tertarik setelah mengetahui fakta tersebut. Terlebih kemudian saya tahu bahwa SDN itu punya halaman cukup luas. Lingkungannya pun bersih dan sehat.
Dalam memilih sekolah untuk anak, saya memang cenderung memilih sekolah yang punya halaman. Mengapa? Karena sewaktu memilih TK, anak saya pernah mengatakan kalau dia lebih senang bersekolah di tempat yang berhalaman luas karena bisa leluasa bermain.
Perlu diketahui, kami berdomisili di area kota. Adapun sebagian sekolah di sekitaran kami tidak memiliki halaman. Bagi orang lain mungkin tak jadi soal. Namun bagi kami, ketersediaan halaman sangat penting.
Jarak dari rumah ke sekolah juga menjadi pertimbangan kami dalam memilih sekolah. Bagi anak lain, jarak yang jauh mungkin tak jadi problem. Namun bagi anak saya, itu sebuah problem. Lagi pula kalau lokasi sekolahnya jauh dari rumah, kami terkendala transportasi. Belum lagi nanti kalau hujan.
Karena merasa semua hal sesuai kriteria, saya menjatuhkan pilihan ke SDN favorit yang direkomendasikan banyak orang itu. Merasa lega sebab telah menemukan sekolah yang cocok buat anak.
Akan tetapi, tak disangka-sangka suatu hari saya berjumpa dengan seseorang. Anak sulungnya sudah bersekolah di SDN tersebut. Kelak anak keduanya, yang sebaya dengan anak saya, akan dimasukkan juga ke situ.
Dia bertanya, "Gimana? Jadi masuk SDN yang itu 'kan?"
"Insyaallah," jawab saya.
"Ya. Di sana aja. Mutunya baik, kok. Nanti anak-anak bakalan dikasih banyak les. Makanya nilai mereka bagus-bagus."
"Les apa?" Tanya saya.
"Les mata pelajaran."
"Oh? Buat kelas 6 nanti? Sebelum ujian akhir?" Tanya saya lagi.
"Bukan cuma pas kelas 6. Mulai kelas 2 sudah ada les, kok. Makanya jadi sekolah favorit. Karena anak-anak diajak belajar keras sejak dini seperti itu."
"Heh?!"
Rupanya SDN favorit tersebut lebih berorientasi pada prestasi akademik. Setelah saya cek-ricek lagi, mayoritas kegiatan ekstrakurikulernya pun terbatas pada jenis kegiatan yang bersifat akademik.
Tepat pada saat itulah saya memutuskan pindah haluan. Anak saya tidak cocok bersekolah di situ. Dia bakalan tidak nyaman karena baginya SDN favorit itu terlalu serius. Sementara anak saya cenderung berkarakter santai.
Terlebih sudah ada les mata pelajaran sejak kelas 2. Pun, di situ tidak ada ekstrakurikuler menari dan drumband. Sementara cita-cita anak saya adalah ikut kegiatan menari dan drumband, sebagaimana yang diikutinya di TK.
Akhirnya anak saya bersekolah di SDN lain. Yang mutunya dianggap biasa-biasa saja, tetapi ternyata sangat cocok buatnya. Tidak ada  les mata pelajaran. Punya ekstrakurikuler menari dan drumband. Punya perpustakaan yang melayani peminjaman buku untuk murid. Lingkungan sekolah bersih dan halamannya luas. Pun, lokasinya justru lebih dekat dari rumah.
Beberapa orang kaget dengan pilihan kami. Di antara mereka ada yang menyayangkan sebab kami memilih SDN yang dianggap biasa-biasa saja. Sementara menurut mereka, anak saya pasti mampu berprestasi di SDN yang favorit tersebut.
Tatkala itu saya tidak tahu pasti, apakah pilihan saya tepat atau tidak. Yang jelas saya sangat bersyukur sebab anak saya hepi bersekolah di SDN yang biasa-biasa saja itu. Justru saya ragu, bagaimana jadinya kalau saya masukkan ke SDN favorit yang tidak sesuai dengan karakternya.
Tiap berangkat sekolah anak saya selalu bersemangat. Meskipun motivasi terbesarnya bermain-main di halaman sekolah yang luas, cukuplah sudah. Dia bisa hepi dan karena hepi itulah, dia bisa menikmati proses belajar dengan baik.
Hasilnya? Pelan-pelan prestasi akademiknya menjadi bagus tanpa ada tekanan (paksaan). Ada satu peristiwa berkesan terkait hal ini. Tatkala baru semingguan menjadi anak kelas 1, anak saya menunjukkan hasil belajarnya.
Tiba-tiba dia menyodorkan buku tulis dalam kondisi terbuka. Katanya, "Bunda, ini tadi ulangan Matematika. Nilaiku 2."
Terusterang saya syok mendengar laporan si bocah. Sementara sebelumnya, dia memperoleh nilai 10 untuk ulangan dikte bahasa Indonesia. Kok sekarang bisa memperoleh nilai buruk? Sesulit apakah soalnya?
"Kata Bu Guru disuruh belajar dengan orang tuanya masing-masing. Besok akan ulangan lagi."
Setelah meneliti hasil ulangan Matematika anak, saya bertanya, "Ini soalnya ada sepuluh. Yang benar cuma dua ..."
"Aku tidak mengerti itu disuruh ngapain? Itu menjawabnya kira-kira saja."
Usut punya usut, Bu Guru sengaja memberikan ulangan tanpa terlebih dulu menjelaskan materi yang dijadikan soal. Kemudian hasil ulangan diberitahukan kepada orang tua melalui siswa. Sekaligus mengajak orang tua untuk mendampingi si bocah dalam belajar.
Minggu depannya ulangan diulang dengan soal-soal serupa. Syukurlah pada ulangan yang kedua anak saya memperoleh nilai 10. Wajarlah. Dia sudah belajar dari kesalahan terdahulu.
Fun fact-nya, nilai sebagian anak tetap buruk sebab tidak belajar dengan orang tua sesuai pesan Bu Guru. Penyebabnya ada dua. Pertama, si anak lupa ngomong ke orang tua. Kedua, orang tua lalai tidak mengajari.
Begitulah faktanya. Pendidikan bermutu sungguh tidak akan tercapai tanpa adanya kolaborasi antara orang tua/wali dengan guru.
*
Ngomong-ngomong, perasaan gamang atas pilihan saya dalam memilihkan SD untuk anak perlahan menghilang. Yakni ketika saya mengikuti sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI di Yogyakarta.
Dari seminar yang bertajuk Aspirasi Pendidikan Bermutu untuk Semua itulah saya paham bahwa apa yang saya lakukan tidak salah. Saya tidak perlu menyesali keputusan untuk memilih SDN yang dianggap masyarakat biasa-biasa saja mutunya, tetapi justru cocok sebagai tempat belajar untuk anak saya.
Dari seminar tersebut saya pun menjadi paham bahwa pendidikan bermutu tidak terbatas pada perkara siapa yang paling bagus nilainya. Atau, siapa yang paling prestise sekolahnya.
Sekolah yang keren, guru yang hebat, dan siswa yang pintar memang merupakan indikasi dari pendidikan bermutu. Namun, definisi pendidikan bermutu tidaklah sesimpel itu. Â
Pendidikan bermutu pun lebih merujuk pada seberapa optimal seorang anak (siswa) berkembang menjadi seorang pembelajar. Yang di masa depannya mampu hidup mandiri dengan hasil belajarnya itu.
Jadi, mari selalu dukung anak untuk meraih pendidikan bermutu sesuai kapasitas dan keunikannya. Jangan sampai sebagai orang tua, kita tanpa sadar malah menghambat perkembangan intelektual dan kepribadian anak.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI