Terkadang sebuah gambar lebih mewakili seluruh situasi daripada serangkum kata. Kiranya itulah gambaran tepat untuk buku karya Gatot Eko Cahyono yang berjudul Reformasi dalam Kartun.
Buku ini warisan almarhum Bapak. Andai kata dahulu beliau tidak membelinya, belum tentu saya tahu kalau pernah terbit buku berjudul Reformasi dalam Kartun.
Sesuai dengan judulnya, isi utama dari buku ini adalah kartun. Tepatnya kartun-kartun (karikatur-karikatur) karya Gatot Eko Cahyono. Sebagian besar telah dipublikasikan di Suara Pembaharuan. Sebagian lainnya tidak dipublikasikan (baru dipublikasikan dalam buku ini). Yang menerbitkan Puspa Swara (Anggota IKAPI) jelang akhir tahun 1998.
Buku ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian Pertama menampilkan Masa Akhir Orde Baru (Era Soeharto). Bagian Kedua menampilkan Masa Reformasi (Era Habibie). Adapun Kata Pengantarnya dari Eka Budianta, salah seorang penulis dan wartawan terkemuka di eranya.
Di Bagian Pertama yang menggambarkan tahun-tahun jelang berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto, Gatot menyuguhkan 90 kartun. Sementara di Bagian Kedua yang menggambarkan dimulainya kepemimpinan Presiden Habibie, yakni awal era reformasi, dia menyuguhkan 46 kartun.
Gatot Eko Cahyono menyajikan rekaman peristiwa sejak awal tahun 1996 hingga Presiden Soeharto resmi lengser keprabon pada tanggal 21 Mei 1998. Yang kemudian Wakil Presiden B.J. Habibie menggantikannya pada tanggal yang sama. Yang juga berarti dimulainya Era Reformasi.
Mengapa harus menampilkan peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak awal tahun 1996? Bukan sejak awal tahun 1998 saja? Tentu ada alasan kuatnya. Karena sejak awal tahun 1996, memang sudah banyak peristiwa yang memicu terjadinya Gerakan Reformasi. Antara lain terjadinya kisruh internal di kalangan PDI (kubu Megawati vs Kubu Soeryadi yang didukung pemerintah), pembunuhan Udin yang merupakan wartawan Harian Bernas Yogyakarta, dan kasus Sri Bintang Pamungkas.
Mencermati halaman demi halaman buku ini serta-merta membawa ingatan saya terbang ke masa mahasiswa. Tatkala itu jelang 21 Mei 1998, nyaris tiap hari ada demonstrasi di kampus. Saya dan kawan-kawan yang biasanya cuma menonton, pada akhirnya ikut berdemonstrasi. Tak ada alasan untuk tidak ikut.
Mau nekad dan sok rajin masuk kuliah? Woilah. Siapa yang mengajar? Dosen-dosen kami pun ikut berdemonstrasi. Bahkan, kami mendapatkan atribut untuk berdemonstrasi (berupa ikat kepala dan bendera kecil) dari wakil dekan.
Saat itu pikiran semua orang Indonesia pastinya sama. Yakni sama-sama ingin Indonesia keluar dari krisis moneter dan krisis apa pun itu. Intinya ingin kondisi bangsa secepat mungkin membaik. Nah. Hal itu direpresentasikan dengan penggantian presiden. Lebih-lebih Presiden Soeharto telah 32 tahun lebih berkuasa. Tentu wajar bila rakyat Indonesia mendambakan seorang presiden baru.
Oleh karena itu, Presiden Habibie beserta Era Reformasi yang melekat di punggungnya pun menjadi asa baru yang besar sekali. Diharapkan mampu membawa kehidupan bangsa Indonesia lebih baik. Pun, lebih mengedepankan akal budi dan nurani. Plus pastinya segera terjadi peningkatan taraf perekonomian.