Tatkala itu belum lama saya berdomisili di sebuah pedukuhan di wilayah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pun, baru saja saya memperoleh pengalaman baru. Yup! Tatkala itu sehari setelah saya ikutan "rewang" untuk yang pertama kalinya dalam hidup.
Pagi-pagi pintu rumah diketuk seseorang. Ternyata yang datang kerabat tetangga yang barusan mantu (menikahkan anak). Kedatangannya untuk mengantar sepiring bubur sumsum hangat. Komplet dengan juruhnya. Perlu diketahui, juruh adalah gula merah yang dicairkan.
Sebagai penggemar bubur sumsum garis keras, tentu saya senang sekali. Merasa bersyukur karena mendadak ketemu bubur favorit.
Sekian waktu kemudian saya berkesempatan rewang lagi. Mulai dari sebelum hari-H hingga saat hari-H, saya bersiaga penuh sebagai tim bantu-bantu sporadis. Terkadang bantu-bantu di dapur, pada lain waktu bantu-bantu menerima tamu.
Sehari setelah hari-H, ternyata ada kiriman bubur sumsum dari si empunya hajat. Kebetulan yang mengantar lebih muda dan lebih ceriwis daripada kiriman bubur sumsum terdahulu. Saat menyerahkan bubur dia berkata, "Bubur sumsumnya, nih. Pengusir capek habis rewangan."
"Benarkah? Kalau makan bubur ini capekku langsung hilang?" Spontan saya bertanya dengan perasaan setengah percaya.
"Katanya simbah-simbah begitu. Konon," jawabnya.
"Halah. Konon. Hehehe."
Akhirnya kami tertawa bareng saja. Namun, sejak saat itulah saya menjadi tahu adanya tradisi sumsuman after rewang.
Rupanya dahulu saya salah paham. Tidak paham maksud perkataan si kerabat tetangga depan rumah, tatkala doeloe dia mengantarkan kiriman bubur sumsum after saya rewang untuk pertama kalinya.