Terlebih selain dipicu oleh kerusuhan antarsuporter sepakbola, di Jogja juga kerap terjadi kerusuhan yang dipicu hal-hal lain. Di antaranya kerusuhan yang bermula dari konvoi peserta kampanye parpol, gesekan antaretnis yang sama-sama merantau di Jogja, demonstrasi mahasiswa yang didomplengi, dan (pastinya) klitih.Â
Jika rajin mencermati kabar terkini Jogja a.k.a. Yogyakarta, Anda tentu mafhum. Bahkan bisa jadi, Anda ikut lelah juga membaca beritanya walaupun bukan warga Jogja.Â
Tiba-tiba terdengar notifikasi dari pesan WA yang masuk. Rupanya pesan balasan dari anak.Â
"Masih di sekolah. Mungkin enggak ke tempat PKL. Ini urusan di sekolah belum selesai."Â
Saya menghela napas lega. Kalau masih harus di sekolah sampai sore berarti aman. Optimis sajalah. Namun, refleks kekhawatiran seorang ibu menggerakkan jari-jemari ini untuk kembali mengingatkan.Â
"Tapi kalau pulang nanti hati-hati. Cari info dulu. Daerah Tugu sudah aman atau belum."Â
Untung saja saya tidak menyarankan untuk cari jalan lain, yaitu Jalan Magelang. Bisa-bisa saran tersebut malah menyebabkannya terjebak kerusuhan. Karena ternyata, ribut-ribut di sekitar Tugu terjadi sebab ada bentrokan suporter PERSIS Solo dengan suporter PSIM Jogja dan warga Jogja.Â
Rombongan suporter PERSIS Solo itu akan pergi ke Stadion Moh. Soebroto Magelang. Hendak mendukung tim kesayangan mereka yang akan bertanding melawan Dewa United.Â
Ampun, deh. Entah apa pertimbangannya, kok bisa-bisanya hendak ke Magelang malah pakai acara lewat Tugu Pal Putih segala?Â
Mau tidak mau saya curiga bahwa mereka sengaja cari perkara. Dari Solo hendak ke Magelang kok malah masuk ke tengah kota? Mestinya cukup menyusuri ringroad yang berlokasi di pinggiran kota.Â
Beralasan tidak tahu jalan? Boleh-boleh saja, sih. Akan tetapi, kalau betul-betul tidak tahu jalan alias nyasar, ngapain pula rombongan dari Solo itu mesti bersikap provokatif saat melintasi ikon Jogja?Â