Mereka cuek saja melihat kami, padahal cukup lama kami memotret sepeda dengan latar belakang mural di sebelah mereka. Â Mereka sekadar menoleh sebentar ke arah kami, setelahnya lanjut dengan aktivitas masing-masing. Â
"Kita memang belum nemu rumah 'kan? Sejak masuk gang tadi, kiri kanan hanyalah pagar tembok," kata kawan yang lainnya.
 Saya menyahuti, "Kontradiktif dengan prasasti dekat mulut gang tadi."
"Maksudnya?" Kedua kawan bersamaan merespons.
"Tulisan yang dipasang di pagar tembok tadi, lho. Yang dekat mulut gang. Yang isinya tentang Program Kotaku. Kota Tanpa Kumuh."
 "Ooo, iya. Iya. Aku ingat." Â
Tak lama kemudian, tibalah kami di deretan rumah-rumah tak berhalaman. Beberapa di antaranya malah sangat mepet jalan. Jadi begitu pintu dibuka, langsung berhadapan dengan jalan. Seperti umumnya kondisi perkampungan padat penduduk di perkotaan. Â
Rumah-rumah itu tertutup semua meskipun sudah lebih dari pukul delapan pagi. Serta-merta pikiran jahil saya menyimpulkan bahwa ini adalah kampung pemalas. Dunia sudah bergerak kok para penghuninya masih asyik terbuai mimpi.
Kesunyian sedikit pecah ketika kami tiba di depan sebuah kamar mandi umum. Seseorang baru saja keluar dari situ. Seorang perempuan tanpa senyum yang menoleh sekilas kepada kami, sebelum ia melesat entah ke mana.
Beberapa langkah dari kamar mandi umum, ada seseorang yang sedang menyapu. Ia mengumpulkan sampah yang berceceran di jalan. Spontan kami menyapa, mohon izin untuk lewat, "Nuwun sewu, Bu (Permisi, Bu). Nderek langkung (Numpang lewat)."