Mohon tunggu...
Agustina Nurul Saputri
Agustina Nurul Saputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkawinan dan Perceraian dalam Hukum Perdata Islam

21 Maret 2023   23:35 Diperbarui: 21 Maret 2023   23:46 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Agama Islam menganjurkan agar dalam pernikahan dilakukan dengan cara yang baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga mendatangkan kebahagian dalam rumah tangga. Sehingga diharapkan semua hak-hak satu pasangan cerai dapat dipenuhi, termasuk hak-hak anak yang ditinggalkan,akan tetapi dengan tidak di catatkannya pernikahan akan berdampak tidak baik dalam keberlangsungan hal tersebut,  pernikahan yang tidak di catatkan di kalangan umat Islam di Indonesia secara umum masih terbilang banyak.

Dampak yuridis yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan

Suatu Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 adalah sah apabila dicatatkan menurut perundang-undangan yang berlaku menurut hukum dan agama masing masing seseorang.

Pendapat Ulama dan KHI tentang Perkawinan Wanita Hamil

Menurut Imam Hanafi, Beliau membolehkan perkawinan wanita hamil zina, tetapi tidak boleh tidur dengan suaminya sebelum anak yang dikandungnya lahir, karena tidak adanya ketentuan syara' secara tekstual yang melarang perkawinan wanita hamil karena zina.

Imam Syafi', membolehkan atau menganggap sah perkawinan wanita hamil akibat zina baik dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya mapun laki-laki lain tanpa harus menunggu bayi yang dikandungnya lahir.

Imam Maliki, Ulama Maliki. Apabila wanita itu menikah sebelum istibra', maka pernikahan dikatakan fasid (batal dengan sendirinya), karena khawatir bercampurnya keturunan di dalam rahim, dan Nabi Saw melarang kita menyirami tanaman orang lain.

Imam Hambali, Menurut Imam Hambali, perempuan pezina baik ia hamil atau tidak, tidak boleh dikawini oleh laki-laki yang mengetahui keadaannya itu, kecuali dengan syarat:

Telah habis masa iddahnya, tiga kali haid.

Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak menjelaskan secara rinci mengenai perkawinan perempuan hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Hanya saja dalam KHI menyatakan bahwa perkawinan perempuan hamil hanya dengan laki-laki yang menghamilinya tidak memberikan peluang kepada laki-laki yang bukan menjadi sebab terjadinya kehamilan tersebut.

Dari segi hukum, Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam mengatur perkawinan di maksud sebagaimana bahwa:

  • Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
  • Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
  • Dengan di langsungkan perkawinan pada saat hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun