Mohon tunggu...
nono
nono Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Studi Teknologi Pendidikan, Universitas Veteran Bangun Nusantara

Saya adalah seorang mahasiswa dari kampung yang mencoba mewujudkan mimmpi sebagai penulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teknologi dan Trauma: Ketika Perundungan Berpindah ke Ruang Digital Sekolah

24 Juli 2025   23:34 Diperbarui: 24 Juli 2025   23:34 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemajuan teknologi digital telah menghadirkan transformasi besar dalam dunia pendidikan. Pembelajaran kini tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi juga menjalar ke ruang-ruang virtual: platform pembelajaran daring, grup media sosial siswa, hingga sistem informasi sekolah. Namun, seiring dengan manfaat yang ditawarkan, teknologi juga membuka ruang baru bagi praktik perundungan. Fenomena ini dikenal sebagai cyberbullying, bentuk kekerasan psikologis yang terjadi melalui media digital dan telah menjadi ancaman nyata bagi siswa di tahun 2025.

Perundungan Digital: Bentuk Baru, Dampak Nyata

Berbeda dari perundungan konvensional yang terjadi secara langsung, cyberbullying terjadi dalam ruang maya. Pelaku bisa menyebarkan ejekan, ancaman, atau penghinaan melalui pesan teks, unggahan media sosial, atau aplikasi chatting. Ironisnya, perundungan ini seringkali berlangsung secara anonim, membuat korban merasa lebih terisolasi dan tidak berdaya.

Menurut survei nasional yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2025, sebanyak 37% siswa di Indonesia mengaku pernah menjadi korban perundungan digital. Mereka mengalami tekanan mental, kecemasan, bahkan keinginan untuk menarik diri dari aktivitas sekolah. Ini menunjukkan bahwa trauma digital sama nyatanya dengan kekerasan fisik atau verbal yang terjadi secara langsung.

Kepemimpinan Sekolah dalam Era Digital

Dalam konteks kepemimpinan sekolah (school leadership), tantangan perundungan digital tidak dapat diabaikan. Kepala sekolah, guru, dan pengelola satuan pendidikan dituntut untuk memiliki literasi digital yang tinggi agar mampu mengenali dan menangani bentuk-bentuk baru kekerasan ini. Kepemimpinan yang efektif tidak hanya mencakup pengawasan pembelajaran, tetapi juga menciptakan ekosistem digital yang aman bagi seluruh warga sekolah.

Sayangnya, masih banyak satuan pendidikan yang belum memiliki kebijakan khusus terkait pencegahan dan penanganan cyberbullying. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara perkembangan teknologi dan kesiapan kepemimpinan dalam menjawab tantangan tersebut.

Peran Teknologi: Masalah Sekaligus Solusi

Paradoksnya, teknologi tidak hanya menjadi sumber masalah, tetapi juga dapat menjadi bagian dari solusi. Beberapa inovasi teknologi pendidikan kini memungkinkan sekolah untuk:

  • Menerapkan sistem pelaporan anonim digital yang memudahkan siswa melapor tanpa rasa takut.
  • Menggunakan aplikasi deteksi perilaku berisiko yang memantau bahasa atau pola interaksi mencurigakan di platform komunikasi sekolah.
  • Mengadakan program literasi digital yang membekali siswa dan guru dengan pemahaman etika berkomunikasi di ruang digital.

Namun, semua itu hanya akan efektif jika didukung oleh kepemimpinan yang berpihak pada perlindungan anak dan berani mengambil langkah preventif serta represif.

Urgensi Tindakan Nyata

Menghadapi realitas perundungan digital di sekolah, tidak cukup hanya mengandalkan teknologi. Sekolah perlu melakukan intervensi berbasis nilai kemanusiaan dan inklusivitas. Kepemimpinan yang transformatif akan mengedepankan partisipasi seluruh pihak---guru, siswa, orang tua, dan tenaga kependidikan---dalam membangun budaya sekolah yang anti-kekerasan.

Kebijakan internal sekolah perlu dikaji ulang: apakah sudah mencakup bentuk-bentuk kekerasan digital? Apakah siswa tahu harus mengadu ke mana? Apakah guru sudah dilatih untuk mengenali tanda-tanda trauma digital?

Perundungan tidak lagi terbatas pada lorong sekolah atau halaman kelas. Ia telah menjelma menjadi bentuk kekerasan digital yang menghantui siswa hingga ke rumahnya sendiri. Kepemimpinan sekolah masa kini tidak boleh tertinggal dari arus digitalisasi. Justru, pemimpin yang visioner akan memanfaatkan teknologi sebagai alat perlindungan, bukan sekadar sarana pembelajaran. Sudah saatnya kita menyadari bahwa trauma digital adalah nyata, dan sekolah harus menjadi garda terdepan dalam memutus rantai kekerasan ini---di ruang fisik maupun ruang maya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun