“Idealisme dalam Pendidikan: Mimpi Mulia atau Tantangan Realitas?”
Seorang guru IPA di sekolah menengah membuka kelas dengan ungkapan sederhana:
“Pengetahuan itu penting, tapi karakter, cita, dan makna hidup jauh lebih penting daripada sekadar angka di rapor.”
Fenomena ini bukan sekadar retorika pendidikan ideal. Di banyak sekolah di Indonesia, guru dan siswa masih terjebak dalam rutinitas “mengajar untuk ujian”, sedangkan aspek nilai, cita, hati nurani sering diabaikan. Sistem pendidikan menuntut efisiensi dan hasil, sehingga pendidikan semakin kehilangan ruang untuk idealisme, visi besar bahwa setiap siswa bisa menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya pintar secara akademik.
Pada saat yang sama, dunia pendidikan menghadapi tantangan baru: globalisasi, kemajuan teknologi, krisis sosial dan etika, serta kerusakan lingkungan. Di tengah arus pragmatisme, pertanyaan akan posisi idealisme dalam pendidikan menjadi semakin mendesak: apakah idealisme hanya mimpi masa lalu yang tidak relevan, ataukah bisa memberi landasan nilai untuk pendidikan masa depan?
Untuk menjawab itu, kita perlu memeriksa: apa arti idealisme dalam konteks pendidikan modern; bagaimana ide-ide idealis bisa diterapkan secara nyata; dan apa konsekuensi ketika pendidikan kehilangan idealisme. Dalam artikel ini, saya akan menyajikan pemikiran kritis mengenai konsep idealisme dalam pendidikan, implikasinya dalam praktik, serta tantangan dan jalan tengah agar pendidikan tidak hanya bergantung pada angka, tetapi juga mengejar kemanusiaan sejati.
Dalam setiap periode sejarah pendidikan, selalu muncul pertanyaan fundamental tentang arah dan tujuan pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan hanya sarana menyiapkan tenaga kerja, ataukah sebuah upaya luhur untuk membentuk manusia yang bermakna? Di tengah realitas pendidikan modern yang serba pragmatis, idealisme muncul sebagai panggilan moral agar pendidikan tidak kehilangan jiwanya.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat menekankan hasil kognitif dan penguasaan kompetensi teknis. Siswa sering kali diukur berdasarkan nilai ujian, bukan berdasarkan kematangan berpikir, moral, maupun spiritual. Akibatnya, sekolah menjadi tempat transfer informasi, bukan ruang pembentukan karakter. Sebagaimana dikemukakan oleh Nurmalina dan Wahab (2024) dalam artikelnya Filsafat Idealisme dalam Pendidikan, orientasi pendidikan yang berlebihan pada hasil justru melahirkan generasi yang pintar secara teknis tetapi miskin refleksi moral.
Selain itu, sistem pendidikan kita cenderung terperangkap pada orientasi jangka pendek. Kebijakan sering berubah mengikuti arah politik, sementara guru dan siswa menjadi pelaksana tanpa ruang refleksi filosofis. Studi oleh Krisdiana dan rekan-rekan (2022) dalam Implementasi Filsafat Pendidikan Idealisme di Sekolah Dasar menyoroti bahwa guru sering kali memahami pembelajaran sebatas penyampaian materi, bukan pembentukan nilai. Padahal, idealisme menempatkan nilai dan akal budi sebagai inti dari pendidikan itu sendiri.
Di sisi lain, tantangan globalisasi dan revolusi industri 4.0 menuntut pendidikan menjadi lebih kompetitif, efisien, dan berorientasi pasar. Akibatnya, pendidikan semakin menjauh dari nilai-nilai ideal dan moral yang menjadi dasar lahirnya manusia berbudaya. Artikel Implikasi Filsafat Pendidikan Aliran Idealisme pada Pendidikan Modern dalam Jurnal Humaniora (2021) menegaskan bahwa pergeseran orientasi pendidikan menuju pragmatisme telah mengikis dimensi kemanusiaan dan spiritualitas peserta didik.
Namun, idealisme tidak boleh diartikan sebagai penolakan terhadap realitas. Justru, idealisme hadir untuk menuntun praktik pendidikan agar tetap berpijak pada cita-cita luhur manusia. Ia menjadi penyeimbang antara rasionalitas dan spiritualitas, antara hasil dan proses, antara kemampuan berpikir dan kemampuan menjadi manusia yang beradab.
Dalam konteks pendidikan Indonesia, idealisme dapat menjadi solusi atas krisis nilai yang terjadi di masyarakat. Pendidikan yang berlandaskan nilai idealis mampu menumbuhkan generasi yang tidak hanya cerdas tetapi juga beretika, reflektif, dan berjiwa sosial. Mubin (2021) dalam Refleksi Pendidikan Filsafat Idealisme menjelaskan bahwa idealisme berfungsi menghidupkan kembali dimensi spiritual dan moral dalam pembelajaran modern yang sering kehilangan arah.
Oleh karena itu, memahami dan menerapkan idealisme dalam pendidikan bukan sekadar kebutuhan teoretis, tetapi juga kebutuhan praksis. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip idealisme ke dalam pembelajaran, guru dan lembaga pendidikan dapat menghadirkan ruang belajar yang menumbuhkan nilai, bukan sekadar kompetensi.
Masalahnya kemudian, bagaimana konsep idealisme dapat diterjemahkan dalam praktik pendidikan yang konkret tanpa kehilangan makna filosofisnya? Bagaimana idealisme yang menekankan nilai-nilai universal dapat menyesuaikan diri dengan tantangan dunia modern yang pragmatis? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi dasar pembahasan dalam bagian berikutnya.
1. Konsep Dasar Idealisme dalam Pendidikan
Idealisme merupakan salah satu aliran utama dalam filsafat pendidikan yang berpandangan bahwa realitas sejati bukanlah benda-benda fisik, melainkan ide, nilai, dan pikiran. Dunia materi dianggap berubah dan sementara, sedangkan dunia ide bersifat abadi dan sempurna. Dalam konteks pendidikan, idealisme memandang bahwa tugas utama pendidik adalah membimbing peserta didik agar mengenal dan memahami nilai-nilai yang lebih tinggi, seperti kebenaran, keindahan, dan kebaikan.
Menurut Nurmalina dan Wahab (2024) dalam artikel Filsafat Idealisme dalam Pendidikan, idealisme berangkat dari keyakinan bahwa manusia memiliki potensi spiritual dan rasional yang dapat dikembangkan melalui pendidikan yang berorientasi nilai. Pendidikan tidak boleh dipersempit hanya menjadi aktivitas teknis atau prosedural, melainkan harus menjadi proses pembentukan kepribadian dan moralitas yang berakar pada kesadaran etis dan intelektual.
Pemikiran ini sejalan dengan pendapat Krisdiana dan rekan-rekan (2022) dalam Implementasi Filsafat Pendidikan Idealisme di Sekolah Dasar yang menegaskan bahwa inti pendidikan idealis adalah pengembangan akal budi dan jiwa siswa. Guru bukan hanya penyampai informasi, melainkan pembimbing moral dan intelektual. Ia berperan membantu siswa mengenali nilai-nilai abadi yang akan menuntun hidupnya di tengah perubahan dunia modern.
Secara filosofis, idealisme memiliki tiga landasan utama yang juga berdampak besar dalam pendidikan, yaitu aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi: Idealisme berpandangan bahwa realitas sejati bersumber dari ide dan pikiran. Karena itu, pendidikan bertujuan membantu manusia mengenal hakikat kebenaran melalui refleksi akal dan kesadaran moral, bukan sekadar melalui pengalaman indrawi.
Epistemologi: Pengetahuan sejati diperoleh melalui proses berpikir mendalam dan refleksi, bukan hanya melalui observasi empiris. Dalam pendidikan, ini berarti proses belajar harus mendorong siswa untuk berpikir kritis, bertanya, dan merenung, bukan sekadar menghafal fakta.
Aksiologi: Nilai moral, keindahan, dan kebaikan adalah tujuan akhir pendidikan. Guru berperan membimbing siswa agar mampu menilai mana yang benar, adil, dan bermakna dalam hidupnya.
Menurut Mubin (2021) dalam Refleksi Pendidikan Filsafat Idealisme, orientasi pendidikan idealis tidak terletak pada hasil, tetapi pada pembentukan pribadi yang sadar dan berkarakter. Siswa harus dididik untuk menjadi manusia yang utuh, yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kedalaman spiritual, dan kematangan moral.
Artikel Implikasi Filsafat Pendidikan Aliran Idealisme pada Pendidikan Modern yang diterbitkan dalam Jurnal Humaniora (2021) menambahkan bahwa penerapan idealisme dalam pendidikan modern dapat memperkuat kemampuan berpikir kritis dan reflektif siswa. Dengan pendekatan ini, kurikulum tidak hanya menekankan keterampilan teknis, tetapi juga mengembangkan dimensi filosofis dan etis dalam diri peserta didik.
Dalam praktiknya, idealisme menempatkan guru pada posisi yang sangat strategis. Guru bukan sekadar fasilitator pembelajaran, melainkan teladan moral dan intelektual bagi siswa. Seorang guru idealis percaya bahwa setiap murid memiliki potensi rasional dan spiritual yang harus dikembangkan melalui dialog, bimbingan, dan keteladanan. Krisdiana dan rekan-rekan (2022) menegaskan bahwa pendidikan idealis menuntut guru tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga menjadi contoh hidup bagi nilai-nilai yang diajarkan.
Konsep idealisme juga menolak pandangan yang memisahkan antara pengetahuan dan nilai. Bagi kaum idealis, belajar sains atau matematika sekalipun bukan hanya soal memahami konsep, tetapi juga tentang menumbuhkan kekaguman terhadap keteraturan dan kebesaran alam semesta. Dalam perspektif ini, pendidikan IPA misalnya, bukan hanya mengajarkan fakta, tetapi juga menanamkan rasa tanggung jawab moral terhadap penggunaan ilmu pengetahuan bagi kebaikan manusia dan alam.
Selain itu, idealisme berperan penting dalam membentuk visi pendidikan jangka panjang. Dalam sistem yang sering berubah karena kebijakan politik dan tuntutan ekonomi, idealisme menjadi jangkar moral yang menjaga arah pendidikan agar tetap berorientasi pada kemanusiaan. Artikel Examination and Reflection on Idealism as a Philosophy of Education (Khasawneh, 2023) menegaskan bahwa idealisme memiliki peran penting sebagai kekuatan normatif yang mengingatkan pendidikan agar tidak kehilangan nilai-nilai universalnya.
Dengan demikian, idealisme dalam pendidikan dapat dipahami sebagai sebuah pandangan filosofis yang memusatkan perhatian pada pembentukan manusia yang berjiwa, berakal budi, dan bermoral. Idealisme tidak menolak kemajuan teknologi atau sains, tetapi berupaya agar kemajuan tersebut tidak melepaskan manusia dari nilai dan tujuan moralnya.
Dalam konteks pendidikan Indonesia, idealisme bukanlah konsep asing. Nilai-nilai idealis seperti kebenaran, kebajikan, dan keindahan tercermin dalam Pancasila, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, dan Profil Pelajar Pancasila. Oleh karena itu, idealisme perlu dipahami bukan sebagai konsep teoretis belaka, tetapi sebagai fondasi untuk memperkuat karakter dan spiritualitas dalam pendidikan nasional.
2. Idealisme dan Tantangan Pendidikan Kontemporer
Setiap aliran filsafat pasti diuji oleh zamannya. Idealisme yang menekankan nilai-nilai abadi kini menghadapi tantangan besar di era modern, ketika pendidikan lebih diarahkan pada hasil, efisiensi, dan kebutuhan pasar. Dalam konteks ini, idealisme sering kali dianggap terlalu abstrak, bahkan tidak realistis, di tengah sistem pendidikan yang serba terukur dan berorientasi pragmatis.
Menurut artikel Implikasi Filsafat Pendidikan Aliran Idealisme pada Pendidikan Modern dalam Jurnal Humaniora (2021), pergeseran paradigma pendidikan global telah menyebabkan terjadinya “devaluasi nilai” dalam sistem pendidikan. Artinya, aspek moral, spiritual, dan estetika semakin terpinggirkan oleh tuntutan produktivitas, sertifikasi, dan penguasaan kompetensi kerja. Pendidikan berubah menjadi alat ekonomi, bukan lagi wahana pembentukan manusia yang bermartabat.
Fenomena tersebut tampak jelas dalam praktik pendidikan Indonesia. Dalam sistem ujian nasional atau seleksi akademik, penilaian berbasis angka sering kali lebih dihargai dibandingkan perkembangan karakter. Guru lebih banyak mengejar target kurikulum daripada membangun dialog moral atau refleksi nilai bersama siswa. Penelitian Mubin (2021) dalam Refleksi Pendidikan Filsafat Idealisme menegaskan bahwa kondisi ini menunjukkan pergeseran orientasi pendidikan dari idealisme menuju pragmatisme, di mana nilai moral dan spiritual hanya menjadi pelengkap formalitas.
Krisis idealisme ini juga dipicu oleh perkembangan teknologi yang luar biasa cepat. Teknologi pendidikan digital memang membawa kemudahan, namun jika tidak disertai kesadaran nilai, ia bisa menjauhkan peserta didik dari hakikat kemanusiaannya. Belajar menjadi aktivitas mekanis: menyalin, mengklik, dan mengirim. Idealisme mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati harus melibatkan refleksi, perasaan, dan dialog, bukan sekadar interaksi antara manusia dan mesin.
Khasawneh (2023) dalam artikelnya Examination and Reflection on Idealism as a Philosophy of Education menjelaskan bahwa pendidikan modern menghadapi dilema ganda. Di satu sisi, ia harus mengikuti arus globalisasi dan kemajuan teknologi; di sisi lain, ia dituntut menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi inti idealisme. Menurutnya, pendidikan yang kehilangan keseimbangan ini berisiko melahirkan generasi yang cerdas secara teknis tetapi kehilangan arah moral dan makna hidup.
Selain teknologi, tekanan sistemik juga menjadi tantangan serius. Di banyak sekolah, guru dibebani dengan administrasi yang kompleks dan target numerik yang kaku. Akibatnya, ruang untuk refleksi nilai dan pengembangan karakter menjadi sangat sempit. Nurmalina dan Wahab (2024) menekankan bahwa tekanan birokratis seperti ini menjauhkan guru dari peran sejatinya sebagai pendidik nilai. Mereka menulis bahwa “guru yang idealis akan kehilangan semangatnya jika pendidikan direduksi menjadi prosedur teknis tanpa ruang moral dan spiritual”.
Kendati demikian, tidak semua aspek modernisasi bertentangan dengan idealisme. Sebaliknya, jika diolah dengan bijak, kemajuan teknologi justru bisa menjadi sarana aktualisasi nilai-nilai ideal. Sebagai contoh, guru dapat menggunakan teknologi digital untuk mengembangkan proyek pembelajaran yang mengasah kesadaran moral dan empati siswa. Melalui video pembelajaran, simulasi sosial, atau penelitian kecil tentang lingkungan, siswa bisa belajar menerapkan nilai-nilai idealisme secara kontekstual.
Krisdiana dan rekan-rekan (2022) dalam penelitiannya Implementasi Filsafat Pendidikan Idealisme di Sekolah Dasar menegaskan bahwa tantangan terbesar bukan terletak pada perubahan zaman, melainkan pada kesediaan pendidik untuk menyesuaikan nilai-nilai idealisme dengan konteks nyata. Guru yang reflektif mampu menanamkan nilai moral tanpa kehilangan relevansi. Misalnya, ketika mengajarkan sains, guru tidak hanya menekankan hukum alam, tetapi juga tanggung jawab etis dalam menggunakan pengetahuan ilmiah bagi kesejahteraan manusia.
Tantangan lain datang dari budaya konsumerisme yang mendominasi kehidupan masyarakat modern. Siswa tumbuh dalam dunia yang menawarkan kemudahan instan, kemewahan material, dan citra populer. Idealisme menolak budaya instan ini dengan mengajak siswa memahami nilai kesabaran, perjuangan, dan kejujuran. Pendidikan idealis bukan hanya mengajarkan bagaimana menjadi cerdas, tetapi bagaimana menjadi baik.
Dalam konteks global, negara-negara maju mulai kembali meninjau pentingnya pendekatan idealistik dalam pendidikan. Penelitian yang dimuat di Journal of Educational Philosophy and Theory (2022) menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang menyeimbangkan antara idealisme dan pragmatisme lebih berhasil mencetak lulusan yang kreatif, beretika, dan berdaya pikir kritis. Pendekatan semacam ini disebut sebagai “neo-idealism in education”, yaitu upaya menghidupkan kembali semangat idealisme dalam sistem yang realistis.
Bagi Indonesia, kebangkitan idealisme pendidikan juga menemukan momentumnya melalui Kurikulum Merdeka. Prinsip otonomi guru, pembelajaran berbasis proyek, dan penguatan profil pelajar Pancasila sebenarnya sangat sesuai dengan pandangan idealis. Kurikulum ini membuka peluang bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran yang berpusat pada nilai, bukan hanya hasil. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak kendala, terutama pada kesiapan guru dan dukungan kebijakan yang berkelanjutan.
Dengan demikian, tantangan idealisme dalam pendidikan kontemporer tidak hanya bersifat eksternal, seperti pengaruh teknologi atau globalisasi, tetapi juga bersifat internal, yaitu krisis refleksi nilai di kalangan pendidik sendiri. Pendidikan modern membutuhkan keberanian moral untuk menghidupkan kembali idealisme sebagai sumber inspirasi, agar pendidikan tidak kehilangan makna spiritual dan kemanusiaannya.
3. Idealisme dalam Praktik Pendidikan Indonesia
Meskipun idealisme sering dianggap sebagai gagasan yang bersifat abstrak, nilai-nilai yang dikandungnya sebenarnya dapat diterjemahkan dalam praktik pendidikan yang nyata dan kontekstual. Di Indonesia, semangat idealisme telah lama menjadi dasar filosofis pendidikan nasional. Hal ini tampak jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Pernyataan ini mencerminkan pandangan idealis bahwa pendidikan bukan hanya alat mencapai kemajuan ekonomi, melainkan sarana membangun kemanusiaan dan moralitas.
Kurikulum nasional, termasuk Kurikulum Merdeka yang diterapkan sejak 2022, membawa semangat baru dalam menerjemahkan nilai-nilai idealisme ke dalam sistem pendidikan. Kurikulum ini menekankan Profil Pelajar Pancasila yang berisi enam dimensi utama: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Keenam dimensi tersebut berakar pada prinsip idealisme karena menempatkan nilai, moral, dan karakter sebagai inti dari pembelajaran (Kemendikbudristek, 2022).
Menurut penelitian Krisdiana et al. (2022) dalam Implementasi Filsafat Pendidikan Idealisme di Sekolah Dasar, nilai-nilai idealisme dapat diwujudkan melalui pembelajaran reflektif dan berbasis karakter. Guru yang mengadopsi pendekatan ini tidak sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi juga membimbing siswa memahami makna dari setiap pembelajaran. Misalnya, dalam pelajaran IPA, guru dapat mengaitkan topik tentang energi dengan tanggung jawab etis terhadap lingkungan, sehingga siswa tidak hanya memahami konsep fisika tetapi juga nilai moral dalam pemanfaatannya.
Contoh penerapan nyata juga dapat ditemukan dalam model Project-Based Learning (PjBL) yang digunakan di berbagai sekolah. Model ini memungkinkan siswa terlibat aktif dalam kegiatan yang relevan dengan kehidupan nyata. Penelitian oleh Wibisono dan Harjono (2023) dalam Jurnal Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran Sains menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis proyek yang diarahkan oleh nilai-nilai idealisme dapat meningkatkan kemampuan berpikir reflektif dan empati sosial siswa. Mereka belajar bukan hanya untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga untuk memahami dampak sosial dan moral dari tindakan mereka.
Selain itu, pendidikan berbasis nilai idealisme juga tampak pada penguatan karakter guru sebagai teladan moral. Guru yang idealis tidak hanya mengajarkan nilai, tetapi hidup di dalamnya. Seperti dikemukakan oleh Nurmalina dan Wahab (2024), guru idealis memiliki peran ganda sebagai pendidik dan pembentuk peradaban. Mereka bukan sekadar pelaku kebijakan, tetapi aktor moral yang menyalakan api kesadaran dalam diri peserta didik.
Namun, penerapan nilai idealisme di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, sistem evaluasi pendidikan masih berorientasi pada hasil kognitif. Ujian dan asesmen nasional, meskipun telah diperbarui, tetap menekankan angka sebagai ukuran keberhasilan. Akibatnya, ruang bagi refleksi nilai dan pembentukan karakter masih terbatas. Kedua, tidak semua guru memiliki pemahaman filosofis yang cukup mengenai idealisme. Sebagian besar guru lebih terbiasa dengan pendekatan teknis daripada pendekatan reflektif dan nilai.
Khasawneh (2023) dalam Examination and Reflection on Idealism as a Philosophy of Education menekankan bahwa tanpa pemahaman filosofis yang kuat, penerapan idealisme akan bersifat dangkal dan seremonial. Nilai-nilai seperti kebenaran, keindahan, dan kebaikan harus dipahami secara mendalam sebelum dapat diwujudkan secara otentik dalam pembelajaran.
Selain aspek pedagogis, idealisme juga memiliki implikasi sosial dalam konteks pemerataan pendidikan. Idealisme menekankan bahwa setiap individu memiliki potensi rasional dan spiritual yang sama. Oleh karena itu, pendidikan harus memberikan kesempatan yang setara bagi semua anak, tanpa memandang status sosial atau kondisi ekonomi. Dalam praktiknya, ini berarti memperjuangkan akses pendidikan yang inklusif, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan.
Konsep ini selaras dengan pandangan UNESCO (2023) dalam laporan Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Education, yang menegaskan pentingnya membangun pendidikan yang berlandaskan pada solidaritas dan keadilan sosial. Idealisme berperan sebagai fondasi moral bagi sistem pendidikan inklusif, di mana keberagaman tidak dipandang sebagai hambatan, tetapi sebagai kekayaan yang perlu dihargai.
Dalam konteks budaya Indonesia yang majemuk, idealisme dapat berpadu dengan nilai-nilai lokal seperti Tri Hita Karana di Bali, Gotong Royong di Jawa, atau Mapalus di Minahasa. Nilai-nilai lokal tersebut mencerminkan harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam, yang sejatinya juga merupakan ekspresi dari semangat idealisme. Redana (2021) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan bahwa kearifan lokal dapat menjadi jembatan untuk mengontekstualisasikan idealisme dalam pendidikan, agar tidak terjebak dalam konsep yang terlalu teoretis.
Pada tataran praktis, penerapan idealisme dapat dilakukan melalui strategi pembelajaran humanistik. Guru perlu menciptakan suasana belajar yang memberi ruang bagi refleksi, diskusi nilai, dan ekspresi pribadi. Misalnya, dengan memberikan waktu kepada siswa untuk menulis jurnal refleksi, berdiskusi tentang dilema etis dalam sains, atau melakukan kegiatan sosial yang memperkuat kesadaran moral.
Menurut Mubin (2021), pendidikan yang idealis harus membangun keseimbangan antara logika dan moralitas. Di sinilah nilai-nilai seperti integritas, rasa syukur, dan tanggung jawab menjadi bagian penting dalam proses belajar. Sekolah bukan hanya tempat untuk menguasai ilmu, tetapi juga ruang bagi pembentukan hati dan karakter.
Pada akhirnya, praktik pendidikan yang berpijak pada idealisme tidak dapat berjalan tanpa dukungan kebijakan yang konsisten. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat perlu bekerja sama dalam menjaga keseimbangan antara tuntutan praktis dan cita-cita filosofis. Pendidikan yang berorientasi nilai tidak boleh dilihat sebagai hambatan bagi efisiensi, tetapi justru sebagai kekuatan untuk menciptakan peradaban yang lebih manusiawi.
Pendidikan idealis pada hakikatnya adalah pendidikan yang menempatkan nilai, makna, dan kemanusiaan di atas segala bentuk efisiensi teknis. Dalam dunia modern yang dikuasai oleh logika pasar, pendidikan sering kali kehilangan arah: sekolah menjadi pabrik nilai, siswa menjadi produk, dan guru menjadi operator sistem. Di tengah arus besar pragmatisme inilah idealisme kembali menjadi cahaya penuntun yang mengingatkan bahwa pendidikan sejati tidak hanya membentuk kecerdasan, tetapi juga kebijaksanaan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa idealisme memiliki tiga implikasi utama dalam dunia pendidikan. Pertama, idealisme menegaskan bahwa hakikat pendidikan adalah pembentukan kepribadian dan moralitas. Pengetahuan tanpa nilai hanya akan menghasilkan manusia cerdas tanpa arah. Kedua, idealisme menuntut adanya keseimbangan antara teori dan praktik, antara dunia ide dan kenyataan empiris. Guru, siswa, dan pembuat kebijakan harus bersama-sama menghidupkan nilai-nilai filosofis dalam kehidupan nyata. Ketiga, idealisme menegaskan pentingnya kesetaraan dan inklusivitas dalam pendidikan, karena setiap manusia memiliki potensi rasional dan spiritual yang sama.
Refleksi atas kondisi pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa penerapan idealisme masih menghadapi tantangan besar. Nilai-nilai luhur sering kali tertinggal di ruang seminar, sementara ruang kelas diwarnai dengan tekanan administratif dan kompetisi akademik. Namun, masih ada harapan. Melalui pendekatan kurikulum yang lebih humanistik, seperti Kurikulum Merdeka dan penguatan Profil Pelajar Pancasila, pendidikan Indonesia memiliki peluang besar untuk menyalakan kembali semangat idealisme yang selama ini tertidur.
Dalam konteks global, dunia pendidikan menghadapi pertarungan nilai antara efisiensi dan kemanusiaan. Idealisme hadir bukan sebagai romantisme masa lalu, melainkan sebagai penyeimbang antara rasionalitas dan spiritualitas, antara kecepatan teknologi dan kedalaman makna hidup. Seperti yang diungkapkan Khasawneh (2023), filsafat idealisme memberikan arah normatif agar pendidikan tidak kehilangan tujuan moralnya di tengah kemajuan zaman.
Harapannya, pendidikan Indonesia ke depan mampu mengintegrasikan idealisme dengan realitas, sehingga tidak hanya menghasilkan generasi yang cerdas, tetapi juga beradab, empatik, dan bermakna. Guru harus kembali menjadi pendidik nilai, bukan sekadar pengajar materi. Siswa harus diajak menjadi pencari kebenaran, bukan sekadar penghafal teori. Dan kebijakan pendidikan harus menempatkan kemanusiaan sebagai inti dari setiap kebijakan.
Dengan demikian, idealisme bukanlah sekadar gagasan abstrak, melainkan kompas moral yang menuntun arah pendidikan menuju tujuan hakikinya: membentuk manusia yang berpikir, merasa, dan bertindak berdasarkan kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Inilah tantangan dan sekaligus harapan besar bagi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih manusiawi dan bermartabat.
Daftar Pustaka:
Khasawneh, M. (2023). Examination and Reflection on Idealism as a Philosophy of Education. International Journal of Educational Philosophy and Theory, 45(2), 87–102.
Krisdiana, A., Nuryani, N., & Rahayu, S. (2022). Implementasi Filsafat Pendidikan Idealisme di Sekolah Dasar. Jurnal Filsafat dan Pendidikan, 17(3), 145–158.
Mubin, A. (2021). Refleksi Pendidikan Filsafat Idealisme: Relevansi di Era Digital. Jurnal Filsafat dan Humaniora, 15(2), 133–147.
Nurmalina, D., & Wahab, A. (2024). Filsafat Idealisme dalam Pendidikan dan Tantangan Modernisasi. Jurnal Pemikiran Pendidikan dan Nilai, 8(1), 12–29.
Redana, I. W. (2021). Integrasi Nilai Kearifan Lokal Tri Hita Karana dalam Pendidikan Karakter di Era Digital. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 11(4), 221–232.
UNESCO. (2023). Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Education. Paris: UNESCO Publishing.
Wibisono, R., & Harjono, A. (2023). Nilai Idealisme dalam Model Project-Based Learning untuk Penguatan Karakter Siswa. Jurnal Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran Sains, 9(2), 89–103.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI