Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi

6 April 2021   11:48 Diperbarui: 6 April 2021   12:06 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diakui atau tidak, toleransi menjadi PR besar bagi bangsa ini. Keberagamaan yang selama ini dengan bangga kita teriakan lewat semboyan Bhineka Tunggal Ika, sesekali harus menghadapi berbagai ujian. Baik ujian yang mengarah pada pandangan minor terhadap kelompok tertentu bahkan hingga mengarah pada perbuatan yang merugikan pihak lain.

Suka atau tidak , bangsa ini memang dikaruniai dengan keragaman yang luar biasa di semua hal. Bentangan wilayah yang berupa ribuan kepulauan, membuat lahirnya berbagai komunitas dengan ciri-ciri tertentu. Mulai dari suku, aga, ras maupun golongan. Dan sekali lagi ini menjadi satu fakta yang tidak bis akita pungkiri.

Fakta lain yang juga luar biasa, adalah ragam pengaruh budaya mau pun agama yang masuk di negeri ini. Dalam kilasan sejarah kita, sejak jaman pra sejarah hingga jaman modern, silih berganti pengaruh itu masuk ke negara kita. Mulau dari pergeseran manusai purba dai ras Negroid, Proto Melayu, pengaruh Hindu-Budha, Islam hingga pengaruh bangsa-bangsa Eropa membentuk mozaik unik di negeri ini. Bahkan di beberapa wilayah membentuk menjadi sebuah budaya unik hasil dari proses akulturasi.

Satu pengalaman hidup yang ada diri saya, mungkin dapat menjadi sebuah gambaran. Beruntung saya pernah hidup di tempat yang begitu heterogen. Sebuah lingkungan yang begitu berwarna-warni, tak ubahnya Pelangi. Tempat yang memaksa dan kemudian menyadarkan saya akan toleransi terhadap keberagaman.

Periode itu saya dapatkan saat menjadi tenaga pendidik di Timor Timur (sekarang Timorleste). Masa-masa pengabdian selama 10 tahun (1989 -- 1999), banyak memberikan pelajaran bagi saya. Pelajaran berharga yang saya dapatkan dari tekad merantau tersebut.

Saat pertama menginjakkan kaki di kota Dili pada bulan Septemner 1989, saya termukan situasi yang sangat berbeda dengan lingkungan yang selama ini saya tinggal. Dalam umur 23 tahun, dengan pengalaman merantau nol, saya didadapkan pada sebuah situasi yang berbeda 180 derajat dengan lingkungan asal.

Wilayah timur negara kita, adalah sebuah wilayah di mana penduduknya menganut agama Katholik. Ini sudah menjadi sesuatu yang baru bagi saya. Jika selama ini dengan mudah saya temukan masjid dan musholla, kini tidak lagi. Sepanjang perjalanan, yang saya temukan gereja dan kapel.

Demikian pula di setiap kegiatan. Jika selama ini saya akrab dengan salam dalam agama Islam, di sini jarang sekali saya temukan. Setiap kegiatan selalu dibuka dengan tata cara setempat, termasuk dalam doa-doa yang dipanjatkan. Suara orang mengaji mau pun azan yang selama ini sering saya dengar, digantikan dengan suara koor dari gereja-gereja atau kapel.

Situasi semacam ini, mau tidak mau menyadarkan pada diri saya, bahwa ada orang lain selain diri saya sendiri. Keharusan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat, menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa saya tunda lagi.

Apalagi saat masuk ke lingkungan sekolah. Dalam satu sekolah, saya bertemu tidak kurang 20 orang dari suku maupun agama berbeda. Saya yang berasal dari Jawa, harus bergaul dengan teman dari Flores, Bali, Makassar, Bugis, Ambon, Batak dan lalin-lain. Lagi-lagi sebuah pengalaman yang tak terbayangkan sebelumnya.

Kenyataan-kenyataan semacam inilah mungkin yang harus kita buka pada diri kita semua. Langkah untuk memandang lebih luas ke sekitar kita, pasti akan dapat membangun jiwa toleransi di antara kita. Tak ubahnya katak dalam tempurung, selama dia tidak mau eksplorasi ke luar, maka yang akan dia dapatkan ya hanya seluas tempurung itu saja.

Toleransi memang bukan hal yang mudah. Kemauan untuk membuka diri dan memahami perbedaan, menjadi modal utama. Memaksakan kemauan atau kehendak, bukan tidak mungkin justru akan menjerumuskan pada pemikiran yang sempit.

Bekal 10 tahun di Timor Timur tersebut, ternyata sangat berguna ketika saya kembali ke tanah kelahiran. Kebiasaan saya berhubungan dengan keragaman menjadikan saya mampu memahami perbedaan tersebut.

Lembah Tidar, 6 April 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun