Mohon tunggu...
Agus Saefudin
Agus Saefudin Mohon Tunggu... Guru - Guru Teknik Audio Video SMK Negeri 2 Bawang Kab. Banjarnegara Prov. Jawa Tengah

flying to distance with the soft symphony.... hidup itu indah maka jalani dengan senyum dan cinta serta berbagillah karena manusia yang berharga adalah yang memiliki arti bagi sesamanya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru, Cita-cita Mulia dan Budaya "Ngobrol Ngalor Ngidul"

9 Januari 2018   07:21 Diperbarui: 9 Januari 2018   09:11 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru yang baik. Guru yang hebat yang akan melahirkan murid-murid hebat sehingga menjadi generasi tangguh yang menjalani ceria hebat. Pemimpin masa depan bangsa yang diharapkan akan membangun bangsa menjadi lebih beradab dan lebih sejahtera akan sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan dan kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh guru. Guru yang berkualitas adalah keniscayaan untuk kemajuan suatu bangsa.

Guru yang baik. Guru yang hebat. Guru inspiratif. Guru yang membebaskan. Guru luar biasa.

Jargon-jargon tersebut begitu terngiang di benak saya dalam beberapa tahun terakhir menjalani kehidupan dalam profesi yang katanya dapat mengantarkan ke syurga. Ada banyak cerita dan lakonan yang musti ditempuhi dalam perjalanan dan pergulatan yang dilalui ini. Cerita yang mencoba untuk dituangkan dalam lembar-lembar tulisan berikut dalam beberapa hari, bulan atau tahun mendatang. 

Mencoba untuk diurai dan dibagikan dalan deretan huruf-huruf membentuk kalimat yang semoga dapat menjadi bagian tidak terpisahkan untuk pendewasaan dan pemberdayaan diri. Sejatinya guru dan tulisan adalah satu yang tak mungkin dapat dipisahkan. Namun anehnya sering kali dan banyak guru yang mengeluhkan bahwa mereka merasa tidak punya cukup bakat dan kemampuan untuk menulis. Yah.. menulis apa saja.

***

Saya sering mendengar dalam banyak obrolan dan diskusi dengan banyak orang sehingga dalam ruang bawah sadar  bahkan menjadi salah satu keyakinan saya tentang kemampuan menulis ini. Yah, ini terkait dengan budaya lisan dan tulisan. Kalau kita perhatikan, sebagian besar dari kita sebagai orang Indonesia terutama orang Jawa merasa bahwa budaya lisan lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita bisa ngobrol ngalor ngidul dengan siapapun dari latar belakang pendidikan apapun dengan pengalaman yang seperti apapun tentang banyak tema yang tidak terencana, bahkan obrolan ngalor ngidul itu bisa menjadi inspirasi atau ide untuk bisa bersikap dan bertindak lebih baik dalam menjalani kehidupan. 

Obrolan lepas yang terkadang bahkan sering kita temukan banyak kebijaksanaan yang dapat membawa pada kebaikan. Obrolan lepas yang adalah pengejewantahan dari budaya tutur lisan kita. Di setiap saat dan di manapun kita berada, asalkan bertemu dua orang atau lebih apalagi ditemani dengan kopi atau teh hangat dan cemilan ringan maka obrolan atau istilah kerennya diskusi akan mengalir lancar seperti air yang telah dibuka kran bendungannya. Mengalir lepas dan banyak ide-ide liar atau guyonan yang orisinil hasil obrolan yang mengandung banyak ilmu.

Semua orang mengakui bahwa orang Indonesia termasuk orang-orang Jawa memiliki sifat asli ramah tamah dan pasti akan menjawab jika diajak ngobrol apalagi dalam suasana santai penuh kekeluargaan. Tukar pikiran yang mendewasakan dan kerap melahirkan banyak ide sering kali muncul saat ngobrol-ngobrol ini. Termasuk guru-guru Indonesia di manapun berada tentu sebagian besar akan mengamini keyakinan saya ini. 

Guru jenjang pendidikan apapun dengan latar belakang pendidikan dan keilmuan yang manapun  pasti senang ngobrol ngalor ngidul dengan siapapun. Dalam interaksi di lingkungan kedinasan dengan sesama guru maupun tenaga administrasi sekolah pastilah guru akan melakukan obrolan. Budaya lisan ngobrol ngalor ngidul ini lestari dan hingga kini tak lekang. Saya tidak pernah menjumpai guru dalam komunitasnya di sekolah saling diam-diaman dan tidak ngobrol. Hampir semua di setiap ada kesempatan pastilah akan digunakan untuk bertegur sapa yang ujungnya adalah ngobrol yang ngalor dan ngidul itu. So, budaya ngobrol ini tak mungkin hilang. Saya yakin itu.

Ide saya terkait dengan budaya ngobrol ini ada dua. Yang pertama, menurut saya jika budaya ngobrol ini mengandung muatan ilmu dan pemberdayaan guru tentu akan jauh lebih baik dan dapat meningkatkan profesionalisme guru. Yap. Bukannya keren jika ada penelitian lebih lanjut tentang "Budaya Ngobrol di Lingkungan Sekolah yang dapat meningkatkan Kinerja dan Pofesionalisme Guru". Keren. Dan menurut saya ini hal yang positif dan sangat mungkin direalisasikan. Obrolan ngalor ngidul ini akan bernilai ilmu dan akan jauh lebih baik jika di tiap obrolan selalu terkandung tema tentang bagaimana meningkatkan kualitas layanan pembelajaran kepada siswa, baik tentang strategi dan metode pembelajaran, tentang bagaimana membangun motivasi belajar siswa, juga tentang bagaimana pmbinaaan kesiswaan yang efektif dan bagaimana meningkatkan hasil pembelajaran siswa. Ada banyak tema yang bisa dibahas dan didiskusikan secara santai lewat obrolan ngalor ngidul ini.

Obrolan ngalor ngidul yang bernilai ilmu ini akan semakin bermutu jika didukung oleh budaya literasi yang baik di kalangan guru. Sudah saatnya guru-guru memperkaya pengetahuan melalui banyak membaca karena dari dulu sampai sekarang pepatah lama ini masih sangat tepat, yaitu banyak membaca menjadi banyak tahu karena buku jendela ilmu. Apalagi jika jendela ilmu dalam buku diterapkan dan diperkuat dengan pengalaman-pengalaman berharga yang dialami oleh guru. So, obrolan guru bukan lagi membahas pepesan kosong tanpa makna yang hanya menghabiskan waktu.

Ide saya yang kedua terkait obrolan ngalor ngidul guru ini adalah mengikatnya menjadi ilmu dalam bentuk tulisan yang dapat dibaca untuk selanjutnya dikaji dan dikembangkan menjadi sesuatu yang berguna bagi pemberdayaan guru. Yap, mengikat ilmu dengan tulisan. Maksud saya begini, obrolan ngalor ngidul yang semakin bermutu jika didukung dengan budaya literasi yang baik ini tiap saat bisa menjadi ide untuk tulisan-tulisan lepas misal artikel, opini, atau bahkan bisa menjadi ide penelitian guru. Nah agar ide ini tidak menguap dan menghilang begitu saja maka perlu dituliskan. Tulisan-tulisan guru inilah jejak ilmu yang dapat diwariskan untuk anak cucu dan generasi mendatang.

Budaya menulis adalah keniscayaan dalam era global saat ini karena tulisanlah yang meninggalkan jejak yang dapat dikaji dan dikembangkan menjadi lebih baik lagi dari waktu ke waktu sehingga ujungnya adalah kehidupan menjadi lebih baik lagi. So, guru sebagai insan cendekian seharusnya bukan hanya pandai dalam ngobrol ngalor ngidul tetapi juga menuangkan obrolan berilmunya dalam tulisan bermutu. Guru dan menulis tidak dapat dilepaskan. Eh, di atas sudah saya tuliskan tentang ini kan?

Guru dan menulis tidak dapat dipisahkan karena menulis bagi guru adalah keniscayaan. Contoh sederhanya begini tidak mungkin dalam kegiatan pembelajaran yang melibatkan interaksi dinamis guru dan murid tidak terjadi komunikasi. Benar, sekarang eranya siswa lebih aktif dalam belajar dan guru sebagai fasilitator belajar adalah inspirator agar kran berpikir dan ide dari siswa mengalir lancar. 

High order tinking skill (HOTS) yang saat ini sedang digencarkan dalam pembelajaran abad ke-21 meniscayakan siswa aktif mencari sumber ilmu. Dan peran guru tidak bisa dihilangkan dan digantikan oleh teknologi semaju apapun. Guru adalah sumber ilmu yang bisa memahami perasaan dan psikologis siswa karena gurulah yang mendampingi proses pembelajaran dan pendewasaan siswa dalam menuntut ilmu. Dalam interaksi ini meniscayakan guru untuk menuliskan ilmunya sebagai salah satu bahan kajian bagi siswanya. Guru pasti menulis. Jadi, sadar ataupun tidak sadar sesungguhnya semua guru memiliki potensi untuk menjadi penulis bahkan penulis yang handal.

Kendala yang dihadapi sesungguhnya terletak pada diri guru itu sendiri. Menurut hemat saya sebagian besar guru terpenjara oleh pikirannya sendiri yang seolah menyatakan bahwa dia tidak bisa dan tidak mampu menulis. Mind block inilah yang harus dihancurkan. Menulislah karena hanya dengan menulis ilmu apat diikat secara abadi. Menulis seperti halnya ngobrol akan mengalir kalau sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Dan sebagaimana budaya hanya akan lahir melalui kebiasaan serta kebiasaan hanya akan lahir dari kesadaran untuk melakukan. Maka agar guru dapat menulis dengan baik adalah dengan menulis. Menulislah untuk menulis. Apa saja yang dapat ditulis tulislah. Dan kebijaksaaan guru yang adalah ilmu guru akan terikat dengan rapi.

***

Saya dan cita mulia itu, yang saya maksudkan sebagai judul tulisan itu adalah bahwa saya yang bercita-cita mulia sebagai guru seharusnya mampu mengikatkan ilmu melalui tulisan. Tulisan ini untuk semua guru karena dalam kehidupan sesungguhnya semua orang adalah guru. Maka pengandaiannya adalah jika semua orang menuliskan ilmunya maka peradaban penuh ilmu akan terwujud. Dalam masyarakat berperadaban ilmu maka kedamaian dan kabahagiaan hidup akan dirasakan dengan sebenar-benarnya. Masyarakat berperadaban ilmu sangat mungkin diwujudkan jika terbangun budaya belajar yang tinggi.

Akan menarik menurut saya jika kita bahas keterkaitan antara masyarakat berperadaban ilmu dengan budaya belajar disandingkan dengan realitas budaya lisan masyarakat kita saat ini yang lebih dominan yang terwujud dalam ngobrol ngalor ngidul yang bermuatan ilmu melalui dukungan budaya literasi yang diwjudkan dalam buadaya tulisan untuk mengikat ilmu yang disemai dan disebarkan dalam masyarakat pecinta ilmu melalui belajar. Siklus tak terputus yang indah menuju pada kedamaian dan kesejahteraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun