Mohon tunggu...
Dr. Agus Hermanto
Dr. Agus Hermanto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Hukum Keluarga Islam

Dr. Agus Hermanto adalah dosen di salah satu Perguruan Tinggi di Lampung, selain itu juga aktif menulis buku, jurnal, dan opini. Penulis juga aktif di bidang kajian moderasi beragama, gender dan beberapa kajian kontemporer lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Tradisi Beduk dan Kentongan yang Nyaris Sirna

9 Mei 2022   07:55 Diperbarui: 9 Mei 2022   10:03 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

Pada hari Jum'at karena masyarakat Nusantara sebagian besar adalah petani hingga biasanya beduk dipukul dan dibunyikan tiga kali dalam jarak waktu yang berdekatan, pukulan pertama sebagai isyarat untuk berkumpul di masjid namun belum masuk atau waktu shalat jumat sudah dekat tapi belum dilaksanakan shalat, pukulan kedua juga demikian, 

hingga pukulan ketiga sudah perpaduan antara kentongan dan beduk, sebagai isyarat bahwa shalat jumat akan dimulai karena sudah masuk waktu dhuhur.

Tradisi beduk dan kentongan ini telah menjadi tradisi masyarakat tradisional, hal ini karena pada masa lalu belum banyak sumber suara, sehingga dua alat tersebut dapat mewakili sumber suaranya di masjid sebelum adanya suara spiker,  bahkan setelah spiker adapun alat tersebut adapun tetap digunakan, karena telah mengakar di masyarakat.

Semakin berkembangnya teknologi, maka kentongan dan beduk acap kali terlupakan dari sejarah, hingga kini hampir sirna, atau bahkan hanya menjadi simbol saja dan tidak bermanfaat sebagaimana fungsinya.

Meskipun kentongan dan beduk bukan syariah Islam, namun kedua alat atau sumber suara tersebut menjadi bukti sejarah dalam konteks dakwah di bumi Nusantara, tradisi kentongan dan beduk, meskipun pola masyarakat Nusantara berkembang sekian pesat, namun masih tetap relevan untuk digunakan, hal ini menunjukkan seni dakwah yang begitu indah. Wallahu alam


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun