Pada hari Jum'at karena masyarakat Nusantara sebagian besar adalah petani hingga biasanya beduk dipukul dan dibunyikan tiga kali dalam jarak waktu yang berdekatan, pukulan pertama sebagai isyarat untuk berkumpul di masjid namun belum masuk atau waktu shalat jumat sudah dekat tapi belum dilaksanakan shalat, pukulan kedua juga demikian,Â
hingga pukulan ketiga sudah perpaduan antara kentongan dan beduk, sebagai isyarat bahwa shalat jumat akan dimulai karena sudah masuk waktu dhuhur.
Tradisi beduk dan kentongan ini telah menjadi tradisi masyarakat tradisional, hal ini karena pada masa lalu belum banyak sumber suara, sehingga dua alat tersebut dapat mewakili sumber suaranya di masjid sebelum adanya suara spiker, Â bahkan setelah spiker adapun alat tersebut adapun tetap digunakan, karena telah mengakar di masyarakat.
Semakin berkembangnya teknologi, maka kentongan dan beduk acap kali terlupakan dari sejarah, hingga kini hampir sirna, atau bahkan hanya menjadi simbol saja dan tidak bermanfaat sebagaimana fungsinya.
Meskipun kentongan dan beduk bukan syariah Islam, namun kedua alat atau sumber suara tersebut menjadi bukti sejarah dalam konteks dakwah di bumi Nusantara, tradisi kentongan dan beduk, meskipun pola masyarakat Nusantara berkembang sekian pesat, namun masih tetap relevan untuk digunakan, hal ini menunjukkan seni dakwah yang begitu indah. Wallahu alam