Awal Cerita dari Sekolah
Anak saya yang kini duduk di kelas VIII SMP, minggu ini mulai mendapat jatah Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolahnya. Program ini tentu niatnya baik, untuk menanamkan kebiasaan makan bergizi, memperkuat kebersamaan, dan memastikan anak-anak tidak belajar dalam keadaan lapar.
Namun berangkat dari pengalaman saya di sekolah tempat saya mengajar, sering kali jatah makan itu tidak habis dimakan. Alasannya sederhana: menunya dianggap kurang menggugah selera. Ada anak yang lebih memilih jajan di kantin, ada juga yang hanya mengambil lauknya tanpa menyentuh nasi. Akibatnya, makanan terbuang, dan esensi MBG sebagai program gizi dan kebersamaan menjadi kurang terasa.
Bekal Bernama Misting
Belajar dari pengalaman itu, saya memutuskan untuk memberi anak saya misting tempat makan pribadi yang selalu ia bawa setiap kali sekolah. Maksud saya sederhana: kalau suatu hari menu MBG-nya tidak cocok di lidah, ia bisa menuangkannya ke misting itu untuk dibawa pulang.
Dengan begitu, makanannya tidak terbuang percuma. Di rumah, bisa kami olah kembali atau dimakan saat sore. Saya tidak ingin anak saya terbiasa membuang makanan hanya karena alasan tidak enak. Bagi saya, menghargai makanan sama pentingnya dengan belajar di kelas.
Uang Jajan Tetap, Tapi dengan Tanggung Jawab
Kebijakan berikutnya yang saya ambil: uang jajannya tetap saya berikan penuh, meskipun sekolah sudah menyediakan MBG. Saya tidak ingin mengurangi hak anak untuk belajar mengatur uangnya sendiri. Justru di sinilah kesempatan untuk menanamkan nilai tanggung jawab dan pilihan.
Kalau ia ingin makan MBG, silakan. Kalau ingin membeli makanan lain di kantin, juga boleh. Tapi semua itu harus dipertimbangkan dengan bijak: mana yang paling ia butuhkan, bukan sekadar keinginan sesaat.
Selanjutnya jika ada uang jajan yang tersisa, saya memberinya kebebasan untuk menabung. Ia sudah punya beberapa keinginan yang sejak lama belum terwujud: membeli laptop sendiri, dan beberapa dress code yang sering digunakan teman-temannya dalam kegiatan bersama.