Saya pikir bajaj sudah lama punah di Bekasi. Tapi sore tadi di depan RS. Bella, mata saya mendadak menangkap sesuatu yang membuat langkah terhenti: sebuah bajaj biru meluncur pelan, mengantar seorang bapak tua yang kemudian dijemput petugas dengan kursi roda. Dari dalamnya tampak seorang ibu yang sibuk menyiapkan pembayaran. Pemandangan sederhana itu membuat saya bengong beberapa detik.
Bajaj. Di Bekasi.
Kapan terakhir kali saya melihatnya?
Bertahun-tahun lalu pemandangan seperti itu hanya saya temui di Jakarta di perempatan Senen atau Pasar Rumput, di antara hiruk-pikuk bus kota dan aroma bensin campur debu. Kini di kota yang setiap jengkalnya sudah dijejali mobil, motor, dan ojek daring, keberadaan bajaj biru seperti hantu masa lalu yang tersesat di jalur modernitas.
Warisan yang Hampir Terhapus
Sedikit orang tahu, Bekasi sebenarnya pernah punya program resmi bajaj. Sekitar tahun 2016, Pemerintah Kota Bekasi meluncurkan angkutan lingkungan roda tiga berbahan bakar gas (BBG) sebagai bagian dari upaya menuju kota ramah lingkungan. Warna biru menjadi identitasnya: menandakan era baru yang lebih bersih, lebih senyap, dan lebih manusiawi dibandingkan bajaj oranye di Jakarta yang legendaris tapi terkenal bising dan berasap.
Namun idealisme itu tak berumur panjang.
Jumlah bajaj yang dioperasikan terbatas. Rute yang diizinkan pun hanya di sekitar perumahan dan jalan-jalan kecil, agar tidak menambah kemacetan di jalur utama. Infrastruktur pengisian BBG pun minim, membuat banyak pengemudi akhirnya menyerah.
Dalam hitungan tahun bajaj biru Bekasi menghilang begitu saja, tenggelam oleh motor-motor ojek daring yang lebih cepat dan lebih praktis.
Ketika Modernitas Menyisihkan yang Rakyat
Hari ini hampir semua orang lebih akrab dengan aplikasi ketimbang angkot, apalagi bajaj. Pergeseran itu terasa wajar, tapi juga meninggalkan sesuatu yang hilang: rasa kemanusiaan di balik perjalanan.
Bajaj dengan segala kekurangannya, dulu memberi ruang bagi percakapan kecil antara sopir dan penumpang. Di situ ada tawar-menawar, ada sapaan, ada solidaritas. Tak ada algoritma atau bintang rating, yang ada hanya dua manusia yang sama-sama ingin sampai tujuan.