Keraton Sumedang Larang memiliki akar panjang. Berdiri sejak abad ke-16, kerajaan ini pernah menjadi penerus spiritual dan politik dari Kerajaan Pajajaran. Tokohnya yang terkenal adalah Prabu Geusan Ulun, yang disebut-sebut sebagai penerima regalia Pajajaran simbol legitimasi kekuasaan Sunda setelah kerajaan besar itu runtuh.
Namun, seperti banyak kerajaan lokal lainnya, pamornya perlahan memudar seiring datangnya kolonialisme dan modernisasi. Masyarakat lebih mengenal Sumedang sebagai daerah administratif ketimbang pusat kebudayaan Sunda.
Menariknya, keraton ini tidak mati. Hingga kini, masih ada struktur keluarga kerajaan, upacara adat, dan pelestarian artefak bersejarah. Pihak keraton juga aktif melakukan penelusuran genealogis, bukan untuk mencari keturunan bangsawan baru, tetapi untuk menyambung kembali tali sejarah yang nyaris terputus.
Antara Ingatan dan Identitas
Kisah keluarga kami hanyalah contoh kecil dari fenomena yang lebih besar: betapa mudahnya masyarakat modern kehilangan ingatan akan akar budayanya sendiri.
Kami lahir dan besar di tanah Sunda, tapi tahu tentang kerajaan Sunda justru lebih banyak dari buku pelajaran, bukan dari warisan tutur. Tak heran jika kabar tentang adanya keraton yang masih hidup di Sumedang terasa asing bagi telinga kami.
Padahal, di balik semua itu, keraton bukan sekadar simbol bangsawan. Ia adalah penjaga identitas budaya. Di sanalah tersimpan nilai-nilai yang membentuk jati diri masyarakat: tata krama, kesopanan, rasa hormat pada leluhur, dan semangat silih asih, silih asah, silih asuh nilai luhur yang mulai luntur di era serba cepat ini.
Menemukan Makna di Balik Warisan
Ketika Wa Iim pulang dari keraton, ia hanya berkata pelan, "Ternyata sejarah itu masih ada, tinggal kita mau percaya atau tidak." Kalimat itu terdengar sederhana, tapi mengandung makna dalam.
Kami lalu merenung: mungkin benar, kadang kita terlalu sibuk menatap masa depan, hingga lupa menoleh ke belakang. Padahal, menelusuri asal-usul bukanlah bentuk kesombongan, melainkan cara untuk memahami siapa diri kita sebenarnya.
Keraton Sumedang Larang menunjukkan bahwa kebudayaan tidak selalu hidup di museum atau monumen. Ia bisa tetap tumbuh di tengah masyarakat, dalam bentuk silaturahmi, gotong royong, atau sekadar kesediaan mendengarkan kisah lama dari para tetua.