Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kopi Luwak Versi Rakyat Lereng Subang Selatan

5 Oktober 2025   09:40 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:40 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi biji kopi luwak khas Indonesia. (SHUTTERSTOCK/ALEKSEY SERIKOV via Kompas.com) 

Di kampung saya, di kaki perbukitan Subang selatan yang hijau, ada seorang tetangga yang punya cara unik menikmati hidup. Usianya sudah lanjut, langkahnya pelan, tapi semangatnya tak pernah surut. 

Ia bukan petani besar, bukan pula pedagang kopi. Namun setiap kali musim panen tiba, dengan seizin yang punya kebun ia terlihat berjalan di antara pohon kopi, membawa kantong kecil, matanya awas menatap tanah.

Yang ia kumpulkan bukan biji kopi biasa, melainkan biji kopi yang jatuh dari pohon: sisa santapan tupai dan musang. Orang lain mungkin menganggapnya kotor atau tak berguna, tapi baginya, biji-biji itu adalah rezeki yang masih bisa disyukuri.

Dari Alam, Untuk Diri Sendiri

Biji kopi itu ia bawa pulang, dengan hati-hati ia memilih yang masih utuh. Mencucinya dengan air bersih, menjemurnya berhari-hari di bawah matahari, lalu menyangrainya sampai harum semerbak memenuhi dapur. 

Tidak ada mesin modern, hanya wajan besi tua dan tungku kayu. Dari situ keluarlah bubuk kopi buatannya sendiri: pekat, hitam, dan wangi alami.

Ia tidak menjualnya, kopi itu hanya ia nikmati sendiri. Biasanya sambil duduk di beranda rumah bambunya setiap pagi, sambil menghadap kabut tipis lereng pegunungan. 

Saya sering memperhatikannya bahkan menemaninya mengobrol. Ada ketenangan yang terpancar dari wajahnya, tenang seperti kabut pagi yang menggantung di lereng gunung.

Kopi Luwak Versi Rakyat

Apa yang ia buat, sesungguhnya adalah kopi luwak dalam versi paling sederhana: versi rakyat. Tidak ada label mahal, tidak ada sertifikat keaslian, tidak pula alat penyeduh canggih. Hanya ada tangan yang sabar dan keyakinan bahwa alam sudah memberi cukup untuk hidup.

Bagi saya, kebiasaannya adalah cerita unik tentang kopi. Ada nilai kesederhanaan: kemampuan untuk melihat manfaat di balik sesuatu yang dianggap tak berharga. Ia tidak memburu gengsi, tidak mengejar keuntungan, hanya memanfaatkan yang tersisa dengan rasa syukur.

Menariknya, hingga kini kesehatannya tetap baik. Mungkin karena kebiasaan itu sendiri adalah bentuk meditasi: mengumpulkan, membersihkan, mengolah, menikmati. Semuanya dilakukan perlahan, penuh kesadaran dan keikhlasan.

Kopi, Alam, dan Kearifan

Di perbukitan Subang, kehidupan berjalan mengikuti irama alam. Musang dan tupai adalah bagian dari rantai itu, begitu pula manusia yang memetik hasil akhirnya.

Tetangga saya memberi gambaran, bahwa kita tidak perlu banyak untuk bahagia. Dari sisa biji kopi yang dianggap remeh, ia menciptakan kebahagiaan kecil: secangkir kopi hasil kerja tangannya sendiri.

Mungkin di situlah letak kemewahannya. Bukan pada harga, tapi dari kerja keras dan niatnya yang tulus.

Refleksi: Belajar dari Secangkir Kopi

Ketika saya melihatnya menikmati kopi racikannya, kopi yang diminumnya menenangkan tubuh dan jiwanya. Pada setiap teguk tersimpan rasa hormat pada alam, ada pelajaran bahwa rezeki tak selalu datang dalam bentuk sempurna. 

Kadang ia hadir dari sesuatu yang berserakan, menunggu tangan sabar untuk memungutnya kembali.

Penutup

Setiap kali saya melihat buah kopi yang jatuh dari pohon, saya teringat pada tetangga itu: pada ketekunannya, caranya menghargai alam, dan pada filosofi hidupnya yang sederhana.

Ia mungkin tak tahu apa itu fermentasi enzimatik, roasting profile, atau kadar keasaman kopi arabika. Tapi ia tahu sesuatu yang lebih dalam: bahwa setiap hal kecil yang dilakukan dengan hati, punya makna besar bagi kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun