Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kopi Sachet Vs Kopi Kampung: Cerita Waglo dari Subang

4 Oktober 2025   08:59 Diperbarui: 4 Oktober 2025   10:17 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemasan kopi racikan keluarga (Sumber: Dokumen Pribadi)

Di era ketika kopi sachet menjadi andalan banyak orang, tinggal gunting dan seduh, saya justru punya kisah lain. Kisah yang lahir bukan dari kebiasaan menenggak kopi, karena saya sendiri bukan peminum kopi. 

Bagi saya, minum kopi justru memicu serangan panik, jantung berdebar, dan gangguan tidur. Namun anehnya, justru dari kopi inilah keluarga saya pernah menaruh mimpi besar.

Ya, keluarga kami pernah mencoba merintis usaha kopi lokal sendiri, kami menamainya Waglo.

Dari Kebun Keluarga ke Kemasan Kopi

Ceritanya bermula dari sebuah kebun kopi di kampung halaman saya, Kecamatan Cisalak, Subang, Jawa Barat. Daerah itu dikelilingi perbukitan hijau, udara sejuk, dan berada di kaki Gunung Tangkuban Perahu serta Bukittunggul. Di tanah inilah biji-biji kopi tumbuh, dirawat oleh tangan-tangan petani kecil.

Keluarga saya, meski tidak sepenuhnya berprofesi sebagai petani kopi, pernah mencoba mengolah hasil bumi itu. Dari kebun sendiri, biji kopi dipetik, dijemur, disangrai, lalu digiling. Awalnya hanya untuk konsumsi keluarga, tapi kemudian muncul gagasan: bagaimana kalau kopi ini dijadikan usaha?

Begitulah lahir Waglo Coffee. Nama ini kami sematkan pada kemasan sederhana tapi penuh semangat. Ada varian unik seperti Kopi Tafakur dan Kopi Jum'at. Filosofi di balik nama itu sederhana: kami ingin kopi ini bukan sekadar minuman, tapi juga mengingatkan orang pada do'a, tafakur, dan kebersamaan.

Kemasan Kopi Tafakur (Sumber: Dokumen Pribadi)
Kemasan Kopi Tafakur (Sumber: Dokumen Pribadi)

Kopi vs Wahana

Untuk memasarkan Waglo, keluarga kami bahkan sempat membuat sebuah wahana kecil-kecilan. Tempat permainan sederhana, semacam ruang rekreasi keluarga, di sini kopi Waglo bisa dinikmati pengunjung sambil anak-anak bermain. Bukan kafe modern dengan kursi empuk dan live music, melainkan suasana kampung yang apa adanya.

Kedai kopi keluarga (Dokumen: Pribadi)
Kedai kopi keluarga (Dokumen: Pribadi)

Sayangnya, usaha itu tak berjalan mulus. Wahana yang kami bangun kini mangkrak. Kopi Waglo masih ada dalam kemasan, tapi tidak lagi bergulir sebagaimana dulu.

Di Tengah Tren Kopi Sachet

Ketika saya melihat tren kopi sachet yang praktis, saya sering membandingkannya dengan Waglo. Kopi sachet lokal sebut saja Kapal Api, ABC, atau Torabika punya keunggulan: mudah, murah, cepat. Tinggal sobek sachet, seduh, dan rasa langsung hadir.

Tapi Waglo berbeda. Ia lahir dari kebun kecil di Subang, disangrai manual, dikemas seadanya, dan dipasarkan dengan harapan sederhana: agar kopi kampung tetap punya ruang.

Di sinilah saya merasa ada ironi. Kopi sachet besar bisa menembus pasar nasional bahkan internasional, sementara kopi lokal seperti Waglo sering berhenti di rak rumah sendiri.

Nilai yang Tak Bisa Disachetkan

Namun kalau dipikir-pikir, justru di situlah letak kekuatan Waglo. Kopi ini mungkin tidak praktis, tapi punya nilai yang tidak bisa disachetkan: cerita.

Ketika seseorang membeli Waglo, ia membeli lebih dari sekadar bubuk kopi. Ia membeli kisah tentang perbukitan Subang, tentang keluarga yang mencoba meracik mimpi dari kebun kecil, tentang doa yang disematkan dalam nama Kopi Tafakur.

Itu sesuatu yang tidak bisa ditemukan dalam kopi sachet pabrikan.

Harapan untuk Waglo

Kini, meski usaha kopi keluarga kami vakum, saya tetap menyimpan harapan. Mungkin suatu hari Waglo bisa hidup lagi entah lewat penjualan online, lewat kemasan kecil ekonomis, atau lewat pojok ngopi di tengah wahana bermain yang kini sepi.

Saya percaya, kopi lokal seperti Waglo hanya butuh sedikit nafas baru: cerita yang disebarkan di media sosial, kolaborasi dengan komunitas, atau sekadar keberanian untuk menawarkannya kembali kepada orang-orang yang haus akan keaslian.

Karena pada akhirnya, kopi bukan hanya soal rasa. Ia juga soal cerita, tanah tempat ia tumbuh, dan orang-orang yang meraciknya dengan cinta.

Penutup

Jadi, kalau ada yang bertanya: "Mana kopi sachet lokal jagoanmu?" Saya akan menjawab dengan cara yang sedikit berbeda. Jagoan saya bukan kopi sachet yang praktis tinggal gunting, melainkan kopi kampung yang lahir dari tanah Subang: Waglo.

Meski kini hanya tersisa dalam kenangan dan beberapa kemasan di rumah, bagi saya Waglo tetap juara. Karena ia menyimpan sesuatu yang tak tergantikan: sebuah cerita keluarga, sebuah mimpi kampung, dan secangkir harapan dari kebun kecil di lereng gunung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun