Sayangnya, usaha itu tak berjalan mulus. Wahana yang kami bangun kini mangkrak. Kopi Waglo masih ada dalam kemasan, tapi tidak lagi bergulir sebagaimana dulu.
Di Tengah Tren Kopi Sachet
Ketika saya melihat tren kopi sachet yang praktis, saya sering membandingkannya dengan Waglo. Kopi sachet lokal sebut saja Kapal Api, ABC, atau Torabika punya keunggulan: mudah, murah, cepat. Tinggal sobek sachet, seduh, dan rasa langsung hadir.
Tapi Waglo berbeda. Ia lahir dari kebun kecil di Subang, disangrai manual, dikemas seadanya, dan dipasarkan dengan harapan sederhana: agar kopi kampung tetap punya ruang.
Di sinilah saya merasa ada ironi. Kopi sachet besar bisa menembus pasar nasional bahkan internasional, sementara kopi lokal seperti Waglo sering berhenti di rak rumah sendiri.
Nilai yang Tak Bisa Disachetkan
Namun kalau dipikir-pikir, justru di situlah letak kekuatan Waglo. Kopi ini mungkin tidak praktis, tapi punya nilai yang tidak bisa disachetkan: cerita.
Ketika seseorang membeli Waglo, ia membeli lebih dari sekadar bubuk kopi. Ia membeli kisah tentang perbukitan Subang, tentang keluarga yang mencoba meracik mimpi dari kebun kecil, tentang doa yang disematkan dalam nama Kopi Tafakur.
Itu sesuatu yang tidak bisa ditemukan dalam kopi sachet pabrikan.
Harapan untuk Waglo