Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

"Sugar Coating": Antara Basa-Basi dan Bermuka Dua

3 Oktober 2025   05:20 Diperbarui: 3 Oktober 2025   05:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Meta AI)

Dalam dunia kerja, tidak terkecuali di instansi pendidikan, kita tentu tidak asing dengan istilah sugar coating: berbicara manis demi menjaga perasaan atau demi tujuan tertentu. Fenomena ini biasanya semakin terasa ketika ada pergantian pimpinan. 

Pimpinan baru, yang belum memahami betul seluk-beluk lingkungan kerjanya, sering menjadi sasaran pendekatan. Ada yang berusaha menampilkan diri paling ramah, paling siap, atau bahkan paling loyal. Semua dilakukan agar terlihat menonjol di mata atasan.

Apakah itu salah? Tidak juga. Menunjukkan sikap ramah, sopan, dan manis dalam berbicara adalah bagian dari etika pergaulan. Namun, masalah mulai timbul ketika sikap manis itu melampaui batas: bukan lagi sekadar basa-basi, melainkan berubah menjadi strategi untuk menutupi kebenaran, menjatuhkan orang lain, bahkan demi kepentingan jabatan. 

Baca juga: Antara Dua Sisi

Di titik inilah sugar coating kehilangan maknanya, berubah wujud menjadi perilaku bermuka dua.

Sugar Coating: Seni Komunikasi atau Topeng?

Dalam batas wajar, sugar coating bisa dipandang sebagai seni berkomunikasi. Ia membantu menyampaikan hal-hal yang mungkin pahit dengan cara lebih halus. Seorang guru, misalnya, tentu perlu memakai bahasa yang lembut saat menegur murid, agar maksudnya tersampaikan tanpa melukai. Demikian pula dalam organisasi, kadang ada kalimat yang perlu dipoles agar enak didengar.

Namun, sugar coating berubah masalah ketika digunakan bukan untuk membangun, melainkan untuk menipu. Ia menjadi topeng. Orang yang melakukannya bisa bersikap A di hadapan pimpinan, lalu bersikap B ketika bersama rekan kerja. 

Sopan dan manis di depan atasan, tetapi menusuk dari belakang. Dalam budaya Jawa atau Sunda, perilaku ini kerap disebut ular berkepala dua. Dalam pewayangan, kita mengenal sosok Sengkuni: aktor licik yang pandai berucap, tetapi ucapannya beracun.

Saat Sugar Coating Menjadi Alat Adu Domba

Pengalaman seseorang (sebut saja Mr. X) di sekolah memberi pelajaran yang berharga. Pernah suatu kali Mr. X dipanggil atasan karena ada aduan yang masuk. Atasan menegur Mr. X dengan cukup keras, seolah-olah Mr. X bersalah besar. Padahal, beliau belum benar-benar memahami duduk persoalan. Rupanya, ada seseorang yang membisikkan cerita sepihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun