Sesampai di rumah, saya menerima pesan dari tuan rumah:
"Mohon maaf atas perilaku kurang sopan tadi, Pak. Biarlah kita yang waras mengalah."
Dari situ barulah saya memahami kemarahan itu bukan sekadar persoalan sapaan, tetapi bagian dari pergulatan yang sedang ia alami.
Permintaan Tak Terduga di Mesjid Sekolah
Pengalaman kedua terjadi di sekolah seusai shalat berjamaah, seorang murid yang belum saya kenal duduk selonjoran di atas lantai. Dengan nada datar, ia berkata,
"Mohon maaf, Pak, bisa tolong ambilkan sepatu saya?"
Saya kaget. Belakangan, saya mendapat penjelasan dari guru lain bahwa murid itu sedang jadi perhatian sekolah karena perilakunya mengarah pada kondisi stres.Â
Ketika Hidup Berubah Drastis
Sebelumnya kasus lain juga kerap saya temui: ada seseorang yang awalnya sehat dan berinteraksi seperti biasa, lalu setelah beberapa tahun tak bertemu, ia muncul kembali dengan kondisi mental yang terguncang.
Ada pula murid yang masuk ke sekolah dalam keadaan normal, lalu beberapa bulan kemudian mengalami gangguan. Setelah dilakukan pendekatan, menurut penuturan orang tuanya gangguan itu dipicu oleh kekecewaan mendalam setelah cintanya ditolak oleh seseorang yang ia kagumi. Kisah-kisah seperti ini menunjukkan betapa rapuhnya jiwa manusia ketika menghadapi tekanan hidup.
Refleksi: Saat Kita Bertemu Mereka
Ketika berhadapan langsung dengan orang-orang seperti ini, kita mungkin merasa kaget, bingung, bahkan tidak nyaman. Namun penting bagi kita untuk menyadari bahwa gangguan jiwa bukanlah pilihan, melainkan kondisi yang membutuhkan perhatian dan penanganan.
Di masyarakat kita, stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa masih begitu kuat. Mereka sering kali dipandang sebelah mata, bahkan diperlakukan tidak manusiawi. Padahal jika ditangani dengan tepat, sebagian dari mereka masih memiliki kesempatan untuk pulih atau setidaknya hidup lebih baik.