Hari pertama program Makan Bergizi Gratis (MBG) dimulai di sekolah kami terasa meriah. Anak-anak datang dengan wajah penuh rasa ingin tahu. Mereka berbaris rapi, menerima ompreng wadah makan stainless steel yang mengilap, bertuliskan SUS304 seperti menerima hadiah istimewa.
"Wow, kayak di acara TV!" seru seorang siswa sambil tersenyum lebar.
Guru-guru pun ikut bersemangat. Kami membayangkan program ini akan menjadi tonggak penting, bukan hanya untuk memenuhi gizi anak-anak, tetapi juga membentuk kebiasaan hidup sehat sekaligus sikap menghargai makanan.
Namun, seiring hari berganti, antusiasme itu mulai pudar.
Anak-anak yang awalnya menerima apa saja dengan senang hati, kini mulai pilih-pilih menu.
Kalau terlihat menarik, mereka akan mengambilnya.
Kalau tidak, mereka lebih memilih melewatkannya.
Puncaknya terjadi beberapa hari lalu. Kami mendapati tiga bakul nasi dan lauk pauk menumpuk, tak tersentuh sama sekali. Guru-guru pun ogah memakannya, untunglah ada seorang guru pengelola pesantren di antara kami.Â
Ia berinisiatif membawa sisa makanan itu, mengolahnya kembali, lalu membagikannya kepada santri di pesantrennya.
Setidaknya, makanan itu tidak berakhir di tong sampah.
Situasi ini membuat kami berpikir langkah apa yang harus diambil, supaya MBG tidak menjadi program mubazir?
Akhirnya, sekolah mengambil kebijakan tegas: setiap siswa wajib mengambil dan memakan jatahnya, apa pun menunya. Tak boleh lagi ada yang tersisa hanya karena alasan tidak suka menunya.
Agar lebih tertib, perwakilan kelas ditunjuk untuk mengambil ompreng bagi teman-temannya.
Syukurlah, sampai hari ini belum pernah terjadi kasus keracunan di sekolah kami. Tapi tidak semua sekolah seberuntung itu.
Guru SD: Kerepotan dan Tekanan untuk Diam
Seorang teman guru di sebuah SD berbagi cerita yang membuat saya ikut prihatin.
Anak-anak SD, kata dia, butuh perhatian ekstra saat menerima dan menghabiskan makanan. Guru harus memastikan mereka makan dengan aman, mengawasi agar tidak tersedak, bahkan membujuk yang ogah makan.
Beban kerja ini jelas tidak ringan, sementara tanggung jawab formal tidak selalu sebanding.
Lebih mengejutkan lagi, ia mengaku diminta menandatangani surat pernyataan oleh pihak katering.
Isinya, ia tidak boleh membocorkan keluhan atau masalah keluar, seandainya terjadi persoalan dalam pelaksanaan MBG.
Saya terdiam mendengarnya.
Bukankah program publik yang dibiayai APBN seharusnya transparan?
Jika guru dipaksa diam, bagaimana mungkin masyarakat tahu jika ada masalah?
Dalam kasus keracunan atau kualitas makanan yang buruk, siapa yang akan bertanggung jawab?
Rasanya tidak adil jika guru dijadikan tameng, sementara pihak penyedia dan pemerintah bersembunyi di balik tanda tangan.
Di Tempat Lain: Makanan Lezat, Siswa Berebut
Namun, cerita tentang MBG tidak selalu suram.
Seorang kolega dari SMA di wilayah lain bercerita penuh antusias. Di sekolahnya, kualitas makanan dijaga dengan baik.
Menunya menarik, rasanya enak, dan aromanya menggoda sejak pertama kali dihidangkan.
"Anak-anak bahkan berebut, Guru juga ikut antre dengan senyum gembira," ujarnya sambil tertawa.
Di sana, MBG benar-benar menjadi momen yang ditunggu-tunggu, bukan sekadar rutinitas program pemerintah.
Cerita ini memberi harapan.
Ternyata, ketika pihak katering serius memperhatikan kualitas, MBG bisa sukses dan membahagiakan semua pihak.
Perbedaan yang begitu kontras antara sekolah kami dan sekolahnya menunjukkan bahwa kualitas pelaksanaan sangat menentukan.
Refleksi: Menjaga Asa di Balik Ompreng
Program MBG lahir dari niat mulia: memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang cukup agar tumbuh sehat dan cerdas.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaannya sangat beragam.
Di satu sekolah, makanan menumpuk tak tersentuh, guru kerepotan, bahkan ada tekanan untuk diam.
Di sekolah lain, MBG menjadi kebahagiaan bersama, simbol kepedulian negara pada generasi muda.
Di sinilah peran pengawasan dan transparansi menjadi krusial.
Guru seharusnya didukung, bukan dibebani dengan tugas tambahan tanpa perlindungan.
Pihak katering dan pemerintah harus terbuka terhadap kritik, bukan malah membungkam suara yang mencoba memperbaiki keadaan.
Suatu hari, saya berharap semua sekolah bisa seperti SMA rekan saya. Di sana MBG bukan sekadar program, tetapi pengalaman yang menyenangkan dan penuh makna.
Di sana ompreng bukan sekadar wadah makan, melainkan simbol perhatian negara pada anak-anaknya.
Karena pada akhirnya, yang kita inginkan sederhana: tak ada lagi tiga bakul nasi yang terbuang, tak ada lagi surat pernyataan yang membungkam, hanya anak-anak yang makan dengan lahap dan tumbuh dengan sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI