Beberapa waktu lalu, saya berbincang dengan seorang pengusaha katering yang saya kenal. Ia bercerita bagaimana awalnya ia tertarik mengikuti program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, niat itu tidak bertahan lama.
"Awalnya harga per paket masih masuk akal," katanya, "tapi lama-kelamaan terus ditekan. Kalau dipaksakan, bukannya untung malah buntung."
Keluhannya sederhana, tapi mengandung dilema nyata. Dalam bisnis katering, harga tidak sekadar angka. Ada bahan baku yang setiap hari naik, ada ongkos tenaga, ada biaya distribusi, dan ada standar gizi yang harus dijaga. Ketika semua ditekan, bagaimana mungkin menghasilkan makanan sehat dengan kualitas layak?
Beberapa hari setelah percakapan itu, sekolah tempat saya bekerja menerima MBG untuk pertama kalinya. Kotak-kotak stainless berkilau memenuhi ruang lobi, seolah menyimpan rahasia kecil di dalamnya.Â
Anak-anak bersorak gembira saat kotak itu dibagikan. Bagi sebagian dari mereka, ini mungkin makan siang pertama yang hadir dengan menu lengkap.
Saya sempat ditawari satu porsi, karena ada beberapa siswa yang tidak hadir. Awalnya saya ragu, tapi kemudian saya terima. Saya ingin tahu, seperti apa sebenarnya makanan yang banyak diperbincangkan itu.
Saya pun menuangkan isi boks stainless itu ke piring pribadi. Ada alasan kecil di baliknya. Konon, jika boks itu hilang, sekolah harus menggantinya dengan harga sekitar Rp. 80 ribu. Rasanya sayang sekali kalau sebuah kelalaian sepele justru menambah beban sekolah. Jadi, lebih tenang rasanya makan di piring sendiri.
Isinya sederhana: nasi pulen, lauk secukupnya, sayur segar, dan buah sebagai penutup. Sekilas rasanya hambar, tidak sekuat masakan restoran.Â
Tetapi justru di situlah bedanya: makanan ini dirancang bukan untuk memanjakan lidah, melainkan untuk memberi gizi yang cukup. Lidah boleh merasa biasa saja, tapi tubuh paham bahwa inilah asupan sehat yang dibutuhkan.