"Kalau kamu mau panjang umur, harus mau minum obat! Kamu mau panjang umur?"
Kalimat itu diucapkannya dengan nada tegas yang nyaris seperti perintah. Saya hanya bisa mengangguk-angguk sambil tersenyum kecut, bukan karena sepakat sepenuhnya, tetapi karena sudah terlalu lelah untuk berdebat. Di ruang praktik yang dingin itu, kata-kata dokter terdengar seperti vonis hidup sekaligus harapan.
Saya datang ke ruang praktik itu dengan tubuh yang terasa seperti komputer ngehang. Malam-malam saya sering terjaga, mata tak mau terpejam meski badan meronta ingin istirahat.
Yang paling membuat saya bingung adalah kecemasan yang datang tanpa sebab jelas: Jantung berdegup kencang, kaki terasa dingin menjalar ke tubuh bagian atas, pikiran berputar tanpa arah.
Puncaknya saya dilanda panik luar biasa, seperti komputer yang akhirnya mereset sendiri setelah ngehang. Begitu pulih, saya merasa segar kembali tetapi saya tahu, siklus itu bisa datang kapan saja.
Di titik inilah saya menyerah dan memutuskan mencari pertolongan profesional. Itulah awal pertemuan saya dengan dokter yang kelak saya kenal sebagai orang yang saklek dalam berbicara, tetapi justru membantu saya menemukan arah.
Pertemuan Pertama: Dokter Saklek dan Ego yang Menolak
Saya masih ingat hari pertama masuk ke ruang praktiknya: tidak ada senyum basa-basi, tidak ada kata sambutan yang manis. Ia langsung mempersilakan saya duduk, lalu mendengarkan keluhan saya dengan raut wajah datar.
Setelah saya selesai bercerita panjang lebar tentang malam yang panjang, serangan panik, dan rasa takut yang tak jelas asal-usulnya, dokter itu hanya mengangguk pelan. Kemudian, dengan suara yang dalam dan tegas, ia berkata:
"Orang sakit itu perlu obat. Bukan cuma kamu. Banyak orang minum obat seumur hidup karena diabetes, hipertensi. Saya dokter, tiap hari juga minum obat. Kalau nggak percaya, ini buktinya!"
Tanpa diduga, ia merogoh tas pinggangnya dan mengeluarkan serenceng obat. Saya tertegun. Rasanya seperti baru saja ditegur sekaligus ditenangkan dalam satu waktu. Di satu sisi, kata-katanya terasa keras. Tapi di sisi lain, ada empati yang tersembunyi: ia ingin saya tahu bahwa tidak ada yang salah dengan minum obat.
Namun ego saya saat itu memberontak: saya takut dianggap lemah, takut ketergantungan, bahkan sempat berpikir, "Apakah saya gila?"
Saya mencoba menolak secara halus. Tapi dokter langsung memotong:
"Kamu jangan takut minum obat! Memang kenapa, merasa tidak normal ya? Jangan begitu. Kalau mau sembuh, ikuti pengobatan ini."
Di momen itu, saya merasa kalah dalam debat yang tak pernah benar-benar dimulai. Saya pulang dengan resep di tangan dan hati yang masih bimbang.
Obat sebagai Jembatan, Bukan Penjara
Hari-hari pertama minum obat terasa aneh. Malam yang biasanya penuh kecemasan perlahan menjadi waktu istirahat yang benar-benar tenang.
Saya bisa tidur. Terlalu nyenyak malah, sampai siang hari pun saya sering masih mengantuk.
Setiap kali kontrol, dokter selalu bertanya,
"Bagaimana? Enak tidak?"
Jika saya berkata, "Masih cemas, masih sulit tidur," dosis akan dinaikkan.
Jika saya menjawab, "Sudah lebih baik," dosis akan diturunkan perlahan.
Proses ini terasa seperti menyetel alat musik, mencari nada yang pas agar hidup saya kembali harmonis.
Bertahun-tahun kemudian, saya bahkan berhasil lepas dari obat sepenuhnya selama tiga tahun.
Saat itu saya merasa seperti pemenang yang akhirnya bebas dari rantai. Meski kecemasan kadang masih mampir, saya bisa menepisnya dengan teknik terapi yang sudah saya pelajari.
Namun, hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan. Ketika beban mental meningkat, serangan kecemasan kembali hadir.
Akhirnya, saya memutuskan kembali ke dokter, kali ini tanpa rasa malu. Saya berkata jujur,
"Saya ingin hidup saya kembali produktif. Saya butuh bantuan."
Dokter hanya mengangguk dan berkata,
"Tidak masalah. Pakailah obat ini saat benar-benar perlu. Ingat, obat bukan musuhmu."
Sejak itu, saya tidak lagi minum obat setiap hari. Kadang dua hari sekali, kadang seminggu sekali. Saya telah berdamai dengan kenyataan: obat bukan penjara, melainkan jembatan yang membantu saya menyeberangi sungai kecemasan.
Dialog-Dialog yang Membekas
Dokter saya terkenal blak-blakan. Kadang kata-katanya membuat saya terdiam, kadang membuat saya tertawa getir.
Suatu kali, ketika saya mengeluh soal biaya konsultasi, ia berkata:
"Kita hidup itu masing-masing punya peran. Kamu bekerja, dapat duit. Saya juga bekerja jadi dokter, dapat duit dari kamu. Kita saling membutuhkan."
Di lain waktu, ia memberi perspektif yang tak pernah saya lupakan:
"Kamu baru beberapa tahun minum obat saya. Ada pasien saya yang sudah 30 tahun minum obat. Dia datang ke sini pakai mobil mewah. Hidupnya baik-baik saja, malah sukses."
Pesannya jelas: minum obat bukan akhir dari dunia. Sama seperti orang rabun yang butuh kacamata, saya butuh obat untuk menata ulang keseimbangan pikiran saya.
Refleksi: Berhenti Melawan Diri Sendiri
Dulu, saya melihat obat sebagai simbol kelemahan.
Kini, saya melihatnya sebagai alat untuk hidup lebih baik.
Saya bukan lagi orang yang menolak dengan ego tinggi. Saya adalah penyintas yang memilih untuk berhenti melawan diri sendiri.
Dokter saya pernah berkata,
"Kalau kamu mau panjang umur, berhentilah keras kepala."
Kini saya mengerti maksudnya.
Kesehatan mental bukan aib. Sama seperti orang yang rutin meminum obat untuk diabetes atau hipertensi, saya pun berhak merawat diri dengan cara yang saya butuhkan.
Pesan untuk Sesama Pejuang
Jika Anda juga sedang berjuang, ketahuilah: Anda tidak sendirian.
Jangan takut meminta pertolongan profesional. Jangan malu jika Anda perlu obat untuk menjaga keseimbangan hidup Anda.
Obat bukan musuh. Ia hanyalah jembatan yang membantu kita melewati sungai yang sedang deras.
Selanjutnya di seberang sana, ada hidup yang lebih tenang menunggu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI