Pembukaan
Di masa lalu, kisah Baratayudha mencatat nama Sengkuni sebagai biang keladi kehancuran Hastinapura.
Dengan lidahnya yang licin, ia mengadu domba Pandawa dan Kurawa hingga perang besar meletus.
Di akhir kisah, Sengkuni tewas di tangan Werkudara (Bima), setelah tubuhnya dihancurkan menjadi serpihan-serpihan kecil.
Werkudara (Bima) sendiri adalah: sosok polos merakyat yang melambangkan kekuatan rakyat kecil dan menengah jika dipersatukan.
Namun, itu cerita lama.
Hari ini, Sengkuni telah kembali.
Ia tak lagi berbentuk manusia dengan mata licik dan senyum miring, melainkan bayangan yang tersembunyi di balik layar gawai kita.
Ia hidup dalam algoritma, narasi, dan kebohongan yang viral di media sosial.
Babak I: Api yang Tersembunyi
Beberapa hari terakhir, dunia seperti bergerak serempak dalam kegelisahan.
Dari Jakarta, Kathmandu, hingga Paris, letupan kericuhan terjadi hampir bersamaan: demonstrasi yang berubah ricuh, isu generasi Z yang kecewa, kemarahan kelas menengah, hingga polarisasi politik yang kian tajam.
Semua terasa seperti kebetulan.
Namun, jika diperhatikan lebih saksama, pola yang sama muncul:
narasi yang membakar emosi, berita yang sulit diverifikasi, dan sentimen yang dipelihara dengan sengaja.
Di sinilah Sengkuni modern memainkan perannya.
Ia tak lagi berpidato di istana seperti dahulu.
Kini, ia bekerja lewat akun anonim, bot yang memproduksi kebencian, dan kampanye digital yang halus namun mematikan.
Sengkuni tak butuh senjata tajam; kata-kata sudah cukup untuk menyalakan perang.
Babak II: Werkudara yang Tertidur
Rakyat, yang di masa lalu diibaratkan sebagai Werkudara dengan tenaga besar dan hati polos, kini terpecah-belah.
Mereka saling serang di ruang digital, percaya pada kabar yang belum jelas kebenarannya, bahkan tega memutus persahabatan demi membela narasi yang mereka anggap benar.
Kelas menengah dan bawah yang dulu menjadi tulang punggung bangsa kini justru menjadi korban adu domba.
Sengkuni tahu, Werkudara tidak perlu dikalahkan dengan kekuatan fisik.
Cukup dengan membuatnya bingung, Werkudara akan memukul bayangan dan menghancurkan dirinya sendiri.
Babak III: Kesadaran yang Menyala
Namun, sejarah selalu memberi ruang bagi kebangkitan.
Di tengah gelombang kebohongan, muncul komunitas kecil yang memilih untuk berpikir kritis.
Mereka tidak mudah percaya pada kabar viral, bahkan rela menguji setiap narasi yang muncul.
Komunitas ini seperti titik-titik cahaya di tengah gelap.
Awalnya hanya belasan orang, lalu ratusan, hingga ribuan.
Tanpa sadar, Werkudara modern mulai bangkit. Bukan satu sosok, melainkan jutaan jiwa yang sadar bahwa musuh mereka bukanlah tetangga atau saudara, melainkan dalang yang tak terlihat.
"Di zaman ini, Sengkuni tak punya wajah,"
kata seorang aktivis muda.
"Wajahnya adalah setiap kebohongan yang kita percaya."
Babak IV: Puncak Kekacauan
Merasa posisinya terancam, Sengkuni mengeluarkan jurus pamungkas.
Ia menciptakan musuh palsu, lengkap dengan dokumen dan video yang tampak meyakinkan.
Media ikut terjebak, dan rakyat pun diarahkan untuk menyerang pihak yang sebenarnya tidak pernah ada.
Werkudara modern hampir tergelincir.
Mereka kembali saling curiga, saling hujat, bahkan nyaris pecah menjadi faksi-faksi yang saling bertentangan.
Sengkuni tertawa puas.
Namun, seorang hacker misterius bernama Jatayu berhasil membongkar rahasia ini.
Ia menemukan bukti bahwa semua kekacauan hanyalah ilusi yang dirancang Sengkuni.
Dengan keberanian luar biasa, Laras, pemimpin komunitas Werkudara modern, membuka semua data itu ke publik.
"Lebih baik kita malu sekarang," katanya,
"daripada hidup selamanya dalam kebohongan."
Kebenaran pun meledak seperti kilat.
Rakyat yang semula saling mencurigai kini bersatu melawan dalang yang sebenarnya.
Dalam pertempuran digital yang sengit, Werkudara menghancurkan sosok raksasa Sengkuni yang terbuat dari algoritma dan kebencian.
Namun, sebelum lenyap, Sengkuni tertawa dan berkata:
"Selama manusia ingin percaya kebohongan, aku akan selalu hidup!"
Babak V: Refleksi dan Bayangan Abadi
Kota-kota kembali tenang.
Rakyat mulai belajar untuk memverifikasi informasi, saling mendengar, dan menyadari bahwa perbedaan bukanlah ancaman.
Namun, Laras tahu ini bukan akhir.
"Sengkuni tak pernah benar-benar mati," katanya dalam pidato peringatan kemenangan.
"Ia hidup di dalam setiap ambisi yang tak terkendali, setiap kebencian yang kita pelihara, dan setiap rasa takut yang kita biarkan tumbuh."
Werkudara modern kini bukan lagi hanya jaringan komunitas, tetapi gerakan kesadaran global.
Mereka sadar, perang ini bukan sekadar melawan orang atau kelompok tertentu, melainkan melawan bayangan di dalam diri sendiri.
Di sudut internet yang gelap, sebuah kode misterius tiba-tiba berkedip:
Kode: ASDZ~001
Status: Rebooting...
Bayangan Sengkuni siap lahir kembali, di tempat yang tak terduga.
Penutup: Cermin untuk Kita
Kisah ini bukan sekadar dongeng tentang Sengkuni dan Werkudara.
Ia adalah cermin zaman yang memantulkan wajah kita sendiri.
Sengkuni bisa berupa akun anonim, seorang tokoh politik licik, atau bahkan bisikan dalam hati kita yang berkata,
"Lebih mudah percaya kebohongan daripada menghadapi kebenaran."
Werkudara pun bukan hanya sosok dalam wayang.
Ia hidup dalam setiap orang yang memilih berpikir kritis, memaafkan, dan membela kebenaran meski sendirian.
"Sengkuni tak pernah benar-benar mati.
Tapi selama Werkudara tetap hidup di hati kita,
bayangan itu takkan pernah berkuasa."
Pesan moral:
Di era banjir informasi, musuh terbesar kita bukanlah orang yang berbeda pendapat, melainkan kebohongan yang membuat kita saling membenci.
Setiap kali kita memilih untuk memeriksa fakta dan menyebarkan kebaikan, kita sedang membangkitkan Werkudara dalam diri kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI