Namun di sisi lain, bagi pasien seperti saya, tatapan itu tetap terasa berat. Seakan-akan saya harus membuktikan bahwa sakit ini nyata, meski secara fisik saya tampak sehat.
Dari Sisi Saya
Sebagai penyintas, saya belajar untuk jujur pada tenaga medis. Kalau saya diam saja, mereka tidak akan tahu betapa serius kondisi saya. Menyampaikan dengan terbuka bahwa "saya butuh obat ini" atau "kalau kambuh, saya bisa bertindak impulsif, melakukan hal-hal berisiko yang sebenarnya tidak saya inginkan" bukan hal mudah, tapi itu cara agar mereka paham bahwa sakit ini nyata dan tidak boleh disepelekan.
Saya juga sadar, perjalanan belasan tahun ini bukan hanya soal minum obat, tapi juga soal membangun kepercayaan. Setiap kali bertemu tenaga medis baru, saya harus mulai lagi dari awal: memperkenalkan diri, menjelaskan kondisi, dan meyakinkan mereka bahwa saya adalah pasien yang juga ingin sembuh.
Titik Temu: Saling Meyakinkan, Saling Mengerti
Dari pengalaman panjang ini, saya sampai pada satu kesimpulan: hubungan antara pasien dan tenaga medis seharusnya dibangun atas dasar saling meyakinkan.
- Saya sebagai penyintas, harus berani bersuara, jujur menyampaikan kondisi, dan tidak menutup-nutupi.
- Petugas medis, terutama yang baru pertama kali berhadapan dengan pasien psikiatri, perlu membuka hati. Tidak semua pasien jiwa identik dengan gejala mencolok. Ada yang tenang, ada yang bekerja, ada yang berkeluarga, tapi tetap butuh obat dan pemahaman.
Jika keduanya bisa saling mengerti, stigma bisa perlahan memudar. Pasien tidak merasa asing di ruang rumah sakit, dan tenaga medis bisa memberikan pelayanan tanpa ragu.
Penutup: Harapan Seorang Penyintas
Saya sadar stigma gangguan mental di masyarakat kita masih kuat. Jangankan di luar sana, di rumah sakit pun kadang masih terasa. Namun saya tidak ingin berhenti pada keluhan. Saya tetap menaruh harapan.