Pendahuluan
Masih ingat istilah Rojali? Akronim dari Rombongan Jarang Beli ini kembali mencuat di jagat maya dan menjadi bahan refleksi menarik di tengah fenomena mall yang tak pernah benar-benar sepi.Â
Meski istilah ini terdengar baru bagi generasi kekinian, sejatinya ia sudah menjadi bagian dari gaya hidup sejak era 1990-an, bahkan jauh sebelum healing jadi bahasa gaul seperti sekarang.
Sebagai alumni SMA tahun 1994, saya merasa Rojali itu ya saya sendiri dulu! Di sela panasnya kota, saya dan teman-teman sering ke mall hanya untuk ngadem, menikmati sejuknya AC dan melihat-lihat etalase toko tanpa niat atau kemampuan untuk membeli.Â
Kadang kalau ada teman yang lebih tajir, kami bisa ikut menikmati ayam KFC atau minuman dingin berlogo internasional. Tapi kebanyakan, kami cuma numpang duduk, mendengarkan musik dari toko kaset (yang zaman itu masih sangat populer), dan mengumpulkan cerita untuk dibagikan esok hari di sekolah.
Mall: Dari Oase Anak Sekolah hingga Cermin Daya Beli
Mall, dalam perjalanan waktu, bukan hanya tempat belanja. Ia adalah ruang sosial: tempat bertemu, berkumpul, dan... ya, memandangi barang-barang impian. Fenomena Rojali mungkin terlihat lucu, tapi jika disikapi lebih dalam, bisa menjadi indikator yang jujur soal daya beli kelas menengah dan bawah.
Tulisan AU dari Kompasianer Abdul Haris di sini: Fenomena Rojali, Apakah Pertanda Pelemahan Daya Beli?, menunjukkan bahwa ini bukan semata perkara malas belanja, tapi bisa jadi tanda bahwa masyarakat semakin selektif dalam mengeluarkan uang.
Saya pun merasa sekarang, meski sudah bukan bagian dari generasi muda yang hanya liat-liat, tetap tak lagi merasa nyaman berada di mall. Bukan hanya karena harga barang yang membuat saya harus berpikir dua kali, tapi juga karena saya telah berubah.
Dari Rojali ke Rohana, Kini Saya Rojaki
Kini, saya bukan lagi Rojali ataupun Rohana (Rombongan Hanya Nanya). Saya menyebut diri saya Rojaki (Rombongan Pejalan Kaki.) Ya, waktu senggang saya habiskan dengan jalan kaki di pagi hari, menyusuri Car Free Day yang menjamur di berbagai tempat.Â
Atau saya memilih ke pedesaan, mendaki gunung, menghirup udara segar, dan menikmati hijaunya pepohonan dibanding bau karbol khas mall.
Berada di alam membuat saya lebih hidup, lebih peka, dan lebih bersyukur. Tak ada AC yang dingin menusuk, tak ada etalase menggoda, hanya suara burung dan desir angin yang membuat hati tenang. Inilah versi healing saya yang sesungguhnya.
Jadi, Rojali itu Salah?
Tidak! Sama sekali tidak. Rojali adalah bagian dari dinamika sosial. Ia bisa menjadi cermin ekonomi, budaya, bahkan psikologi generasi tertentu. Ada yang datang ke mall untuk sekadar window shopping, cari hiburan murah, atau sekadar isi waktu luang tanpa harus belanja. Dan itu sah-sah saja.
Namun, penting juga untuk menyikapi tren ini secara bijak. Apakah kita hanya numpang ngadem karena memang tidak mampu beli, atau karena memang mall bukan lagi tujuan utama? Apakah budaya konsumtif itu sudah memudar, atau justru berubah bentuk?
Penutup: Nostalgia yang Bertransformasi
Bagi saya, Rojali bukan sekadar istilah, tapi potongan masa muda yang membekas. Kini, saya Rojaki. Tapi siapa tahu suatu saat kembali jadi Rojali bukan karena daya beli, tapi karena ingin bernostalgia dalam balutan AC dan musik mall yang tetap khas... :)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI