Kini, saya bukan lagi Rojali ataupun Rohana (Rombongan Hanya Nanya). Saya menyebut diri saya Rojaki (Rombongan Pejalan Kaki.) Ya, waktu senggang saya habiskan dengan jalan kaki di pagi hari, menyusuri Car Free Day yang menjamur di berbagai tempat.Â
Atau saya memilih ke pedesaan, mendaki gunung, menghirup udara segar, dan menikmati hijaunya pepohonan dibanding bau karbol khas mall.
Berada di alam membuat saya lebih hidup, lebih peka, dan lebih bersyukur. Tak ada AC yang dingin menusuk, tak ada etalase menggoda, hanya suara burung dan desir angin yang membuat hati tenang. Inilah versi healing saya yang sesungguhnya.
Jadi, Rojali itu Salah?
Tidak! Sama sekali tidak. Rojali adalah bagian dari dinamika sosial. Ia bisa menjadi cermin ekonomi, budaya, bahkan psikologi generasi tertentu. Ada yang datang ke mall untuk sekadar window shopping, cari hiburan murah, atau sekadar isi waktu luang tanpa harus belanja. Dan itu sah-sah saja.
Namun, penting juga untuk menyikapi tren ini secara bijak. Apakah kita hanya numpang ngadem karena memang tidak mampu beli, atau karena memang mall bukan lagi tujuan utama? Apakah budaya konsumtif itu sudah memudar, atau justru berubah bentuk?
Penutup: Nostalgia yang Bertransformasi
Bagi saya, Rojali bukan sekadar istilah, tapi potongan masa muda yang membekas. Kini, saya Rojaki. Tapi siapa tahu suatu saat kembali jadi Rojali bukan karena daya beli, tapi karena ingin bernostalgia dalam balutan AC dan musik mall yang tetap khas... :)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI