Pendahuluan
Pada awalnya kami tidak percaya anak seusia dia bisa punya utang sebesar itu. Masih muda, belum genap dua puluh tahun. Ia bukan keponakan kandung saya, tapi masih kerabat sepupu jauh yang kerap saya jumpai saat hari raya atau acara keluarga besar.Â
Tak ada tanda-tanda bahwa hidupnya tengah berantakan, sampai suatu hari, ponsel kami dibanjiri pesan masif dari nomor-nomor asing: dia punya utang, segera lunasi, atau data pribadinya akan disebarluaskan.
Awalnya kami mengira ini semacam penipuan digital. Tapi semuanya berubah nyata saat debt collector benar-benar datang ke rumah keluarganya.Â
Nada bicara mereka tegas, ancaman tersirat jelas, dan yang paling mencengangkan jumlah utangnya tembus lebih dari seratus juta rupiah.
Dari Pinjaman Kecil Menjadi Bom Waktu
Ternyata semua bermula dari pinjaman kecil di aplikasi pinjol ilegal. Tanpa penghasilan tetap, ia mencoba menambal utang lama dengan utang baru. Seperti domino yang jatuh, satu demi satu aplikasi pinjaman disambung lagi dan lagi, hingga utang itu menjadi monster yang tak mampu ia jinakkan.
Sebagai paman jauh, saya memang tidak masuk lingkar utama penyelesaian. Tapi sebagai bagian dari keluarga besar, sedikit banyak saya merasa harus ikut andil meski sebatas pendengar setia.Â
Kami semua syok. Ada yang marah, ada yang kecewa, tapi pada akhirnya semua sadar: bila tak ada yang turun tangan, anak ini bisa hancur total secara sosial maupun psikologis.
Akhirnya, yang punya kemampuan lebih banyak mengambil alih pembayaran. Ada yang menjual kendaraan, ada yang mencairkan tabungan, sebagian lagi membantu seikhlashnya.Â